Dimanakah 'Pemimpin Tercinta' Korea Utara?
11 September 2008Peringatan 60 tahun berdirinya negara Korea Utara dirayakan dengan parade militer dan senam massal yang cemerlang. Pujian bagi dinasti Kim tidak luput dari pendengaran. Tetapi perhelatan itu tidak sempurna. Tokoh utamanya Kim Jong Il, yang menyebut dirinya sendiri sebagai 'pemimpin tercinta' tidak nampak. Itu menimbulkan keresahan, demikian pendapat pakar Asia, Markus Tidten:
"Situasinya serius. Fakta bahwa pemimpin tertinggi tidak hadir pada perayaan 60 tahun, yang istimewa di Asia, pastilah menimbulkan spekulasi, bahwa ada sesuatu yang terjadi. Tetapi dalam soal Korea Utara, orang memang hanya bisa berspekulasi. Yang pasti, apa pun alasannya, dia tidak mampu tampil di depan umum. Bisa karena sakit, bisa juga karena telah tiada. Itu tidaklah mustahil."
Yang dapat dipastikan, di balik tirai mulus Korea Utara terdapat kekalang-kabutan. Bagi dunia barat diktator yang punya banyak kebiasaan aneh itu mungkin terkesan unik. Di Korea ia memegang peranan kunci. Di balik pintu tertutup, sekarang mungkin sedang dipertanyakan, siapa yang akan menggantikan Kim? Karena kurangnya fakta-fakta yang pasti, dalam hal ini hanya ada spekulasi. Kata Markus Tidten:
"Kami menduga, apa pun alasannya, terkait kondisi kesehatan Kim Jong Il, kita harus memperhitungkan kemungkinan, bahwa tanggungjawab kepemimpinan negara akan jatuh ke tangan militer. Itu adalah proses formal di negara seperti Korea Utara. Artinya, negara-negara yang berurusan dengan Korea Utara, terutama dalam perundingan enam negara, nantinya harus menghadapi mitra perundingan yang tidak rasional, tidak mau berkompromi dan tidak merasa terikat dengan kesepakatan yang sudah dijalin."
Artinya, penghentian program atom tidak akan ditaati lagi. Kata Tidten selanjutnya. Tetapi di dalam negeri, Korea Utara juga terancam kekacauan. Bagi pakar politik, Hanns-Werner Maull, Korea Utara sudah kehilangan fungsinya sebagai negara. Dikatakannya:
"Saya senang menyebut Korea Utara sebagai negara 'zombie'. Negara yang tidak sadar, bahwa dia sebenarnya sudah mati, tetapi masih berkeliaran dan menimbulkan kesulitan. Hanya saja tidak dapat dikatakan berapa lama makhluk seperti itu masih dapat bertahan. Faktanya, negara itu sudah lama tidak berfungsi. Sudah lama tidak dapat memberi makan penduduknya."
Selain buruknya pelayanan kebutuhan penduduk dan belum tuntasnya perundingan enam negara mengenai program atom Korea Utara, masih ada lagi satu faktor penting bagi masa depan Korea Utara, yaitu Korea Selatan. Walaupun kedua pihak selalu menggembar-gemborkan penyatuan kembali menurut definisi masing-masing, tidak ada pihak yang ingin mewujudkan gagasan itu secepatnya. Sebab perbedaan ekonomi keduanya terlalu besar. Reunifikasi yang terlalu cepat akan membuat Semenanjung Korea menjadi tidak stabil. Tetapi seandainya pun Kim Jong Il tidak dapat menjalankan fungsinya, Korea Utara pastilah tidak akan segera ambruk. Bahkan sebaliknya, menurut Markus Tidten:
"Kelanjutan pemerintahan kediktatoran yang ketat, dan berkuasa mutlak oleh militer mungkin justru lebih mudah. Terlepas dari dukungan militer, Kim adalah orang yang setidaknya merasa bertanggung jawab bagi kondisi menyeluruh negerinya. Perasaan itu tidak dimiliki oleh militer."
Apakah dengan, atau tanpa Kim, keadaan warga Korea Utara di masa depan masih akan tetap buruk. (dgl)