Dilema Maut Ambisi Listrik Jokowi
10 Oktober 2017Tidak ada kegaduhan ketika Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui pemerintah meratifikasi Konvensi Minimata September silam. Di sana Indonesia berjanji mengurangi penggunaan senyawa merkuri pada industri. Hasilnya Tambang emas rakyat adalah yang paling dibidik, meski sumber terbesar pencemaran merkuri ada di tempat lain: Batu bara.
Toh meski demikian pemerintahan Joko Widodo tetap mencanangkan proyek listrik raksasa berkapasitas lebih dari 30.000 megawatt (MW) dengan mengandalkan 57% energi batu bara.
Adalah Universitas Harvard yang 2015 silam merilis studi tentang bagaimana produksi listrik dengan batu bara menyumbangkan polusi merkuri terbesar di Indonesia. Ilmuwan mencatat polusi partikel halus dari pembangkit listrik batu bara menyebabkan 7,100 kematian dini. Angka tersebut diprediksi akan berlipat ganda menjadi 28.000 kematian prematur per tahun jika rencana pemerintah terwujud.
Kerugian tersebut belum ditambah dengan ongkos kesehatan akibat polusi yang ditaksir akan mencapai 351 trilliun Rupiah per tahun.
Indonesia saat ini sedang berada di persimpangan, menurut Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia. "Tetap membangun energi batu bara dan membiarkan nyawa ribuan penduduk Indonesia berakhir dini, atau beralih dan melakukan ekpansi agresif untuk mewujudkan energi terbarukan yang aman dan bersih," tuturnya.
Pemerintah berdalih, proyek pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi hanya bisa diwujudkan dalam waktu cepat dengan dengan mengandalkan energi murah. Indonesia setiap tahun memproduksi hampir 460 juta ton batu bara dengan cadangan sebesar 28,4 miliar ton. Jumlah yang dibutuhkan pemerintah untuk mewujudkan proyek listrik raksasa itu ditaksir berkisar di angka 166 juta ton, atau sekitar 36% dari kapasitas produksi tahunan.
Namun PLN sendiri mengisyaratkan keterjangkauan batu bara cuma ilusi belaka. Direktur PLN Sofyan Basyir mengakui saat ini 80 persen produksi batu bara di Indonesia dikuasai swasta dan diekspor ke luar negeri. "Kalau batu bara Indonesia diekspor, harganya jadi mahal," katanya kepada Katadata beberapa bulan lalu.
Meski Bank Dunia dan Badan Moneter Internasional memprediksi harga komoditi batu bara akan stagnan di kisaran 60USD/ton hingga 2030 mendatang ongkos kesehatan dan lingkungan diyakini akan berlipat ganda. "Pada akhirnya biaya ini harus ditanggung masyarakat dan negara,” ucap Dwi Sawung, Manajer Kampanye Urban dan Energi WALHI kepada BBC Indonesia.
rzn/yf (dari berbagai sumber)