Dilema Kenaikan Tarif Cukai Rokok
4 September 2019Pemerintah berencana akan menaikkan tarif cukai rokok di atas 10% pada tahun 2020 mendatang. Hal ini sebagai respon pemerintah atas hasil Rapat Panitia Kerja dengan Pemerintah terkait Asumsi Dasar dan Pendapatan dalam RUU APBN Tahun 2020. Dalam rapat tersebut disepakati target penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) di tahun depan adalah sebesar 9%, sedangkan yang dicanangkan pemerintah sebelumnya adalah 8,2%.
Terakhir kali pemerintah menaikkan tarif cukai rokok yakni pada tahun 2017 silam. Di mana diputuskan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 10,04%, lebih kecil dibandingkan kenaikan tahun sebelumnya, yakni 11,19%. Di tahun 2018, pemerintah tidak menaikkan tarif cukai rokok.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi, mengatakan bahwa kenaikan tarif tersebut dilakukan untuk memenuhi target penerimaan CHT yang sebesar 9%.
"Kenaikan tarif dalam bentuk PMK (Peraturan Menteri Keuangan). Iya (rencanananya) double digit (di atas 10 persen) tapi angkanya belum," ujar Heru setelah menghadiri rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Selasa (03/09).
"Tarif itu nanti akan berkontribusi ke penerimaan karena penerimaan itu sebagai hasil dari persentase tarif cukai jika dikalikan dengan volume produksi karena dia spesifik ya. Karena itu akan terjadi kenaikan (penerimaan)," jelas Heru.
Simplifikasi golongan tarif
Sekretaris Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Agus Suyatno, berpendapat angka kenaikan tarif di atas 10% yang direncanakan pemerintah masih tergolong kecil. Menurutnya angka tersebut merupakan angka kenaikan rata-rata berdasarkan jenis rokok yang ada di Indonesia.
"Karena produk rokok jenisnya banyak, kalau kemudian kenaikan masing-masing tidak seragam nanti ada yang kecil kenaikannya, contoh sigaret putih mesin (SPM) jadi tidak ada artinya. Satu batang hanya naik 5-10 rupiah, sangat kecil,” ujar Agus.
Saat ini diketahui terdapat sepuluh golongan tarif cukai rokok yang terbagi berdasarkan proses produksinya serta jenis rokok yang diproduksi itu sendiri. Agus berpendapat agar dilakukan penyederhanaan terhadap penggolongan tarif cukai rokok tersebut. Di samping itu ia juga mengimbau pemerintah untuk menaikkan tarif cukai rokok ke angka yang lebih tinggi. Lebih lanjut Agus meyakini setiap tahunnya negara berpotensi kehilangan Rp 7 triliun rupiah dari kenaikan tarif yang tidak tepat sasaran.
"Kalau menurut YLKI kenaikan cukai yang ideal saat ini yaitu inflasi 3,13% ditambah angka pertumbuhan ekonomi 5,2% kemudian dikali dua karena tahun kemarin tidak naik. Ditambah 10% lagi karena rokok bukan produk biasa, angka realnya 26,5% minimal untuk tiap-tiap jenis rokok,” papar Agus saat diwawancarai DW Indonesia.
Ia menilai saat ini pemerintah terlalu fokus terhadap penerimaan CHT yang besarnya tidak sebanding dengan pengeluaran yang ditanggung pemerintah. "Kalau tidak dikendalikan, cuma untuk pemasukan saja, akhirnya pemasukan itu tidak akan balance dengan biaya yang ditanggung pemerintah untuk merehabilitasi atau mengobati orang yang terdampak dari produk tersebut,” tambahnya.
DPR menolak
Dihubungi secara terpisah, anggota Badan Anggaran DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, Bambang Haryo, menolak rencana kenaikan ini. Menurutnya kenaikan tarif cukai rokok akan memberikan multiplier effect di berbagai sektor, mengingat cukai rokok sebagai salah satu pendapatan terbesar negara terlebih lagi mayoritas penduduk di Indonesia adalah perokok.
"Ada 56 juta UMKM, 25 persennya adalah penjual rokok. Ini akan mati semua, karena bebannya akan semakin berat. Banyak efek, mulai dari buruh rokok sampai petani tembakau,” ujar Bambang kepada DW Indonesia.
Bambang menjelaskan ada beberapa cara untuk menggenjot penerimaan CHT selain dengan menaikkan tarif cukai rokok, salah satunya dengan menetapkan tarif cukai rokok hasil produksi industri rumahan dan rokok-rokok yang dijual secara online.
"Misalnya yang home industry bisa diberikan cukai tapi tidak terlalu berat seperti rokok-rokok besar,” ujar Bambang.
"Kelompok masyarakat bawah range-nya lebar meluas, harusnya dimanfaatkan untuk cukai itu bisa diberikan tapi ada insentif. Asal jangan dibebankan cukai progresif 57%, harusnya 20% mungkin mereka mampu,” pungkasnya.
Hingga Agustus 2019, berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan negara atas Cukai Hasil Tembakau sudah mencapai angka 48,9% atau sekitar Rp 77,7 trilun dari target Rp 158,9 triliun. DJBC pun optimis target tersebut dapat terpenuhi.
rap/hp (dari berbagai sumber)