Sigap Bencana Lewat Program Numerik dan Komputer Supercepat
25 Januari 2019Sejak tahun 2010 Bobby Minola Ginting berkecimpung di dunia hidraulik dan hidrologi. Pria yang berangkat dengan latar belakang teknik sipil ini sering menjadi konsultan perancangan teknik hidrolika untuk proyek publik maupun swasta, seperti perencanaan saluran drainase hingga perancangan bangunan air.
Bobby yang juga dosen di Universitas Katolik Parahyangan Bandung ini sempat melakukan penelitian di tahun 2011 melalui program numerik terhadap peristiwa jebolnya bendungan Situ Gintung yang terjadi tahun 2009. Kini peneliti asal Indonesia di Technische Universität München ini kian giat mengembangkan model numerik tersebut untuk pengembangan sistem peringatan dini bencana. Simak wawancara reporter DW, Sorta Caroline, dengan Bobby tentang program numerik yang dikembangkannya untuk mitigasi bencana banjir dan tsunami.
Apa yang memotivasi Anda meneliti banjir dan tsunami dari sudut teknik dan informatik?
Bobby Minola Ginting: Saya sudah menekuni teknik sipil dengan pengkhususan pada teknik hidraulik pada studi sarjana saya di Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu, saya pun melanjutkan ke jenjang magister dengan meneliti lebih lanjut tentang propagasi (perambatan gelombang) banjir yang disebabkan keruntuhan bendungan, disitulah saya mulai dengan Bahasa Pemrogaman Fortran (Formula Translation). Dari sinilah saya tertarik mengembangkan program numerik tersebut. Saya pun melanjutkan penelitian ini ke Jerman.
Bisa dijelaskan bagaimana program numerik ini bekerja?
Langkah awal dalam perancangan program numerik ini adalah melalui perumusan matematik - persamaan Navier Stokes yang disederhanakan ke dalam persamaan aliran dangkal atau Shallow Water Equations(SWE). Kemudian saya akan mensimulasikannya secara parallel dengan superkomputer (komputasi dengan kinerja tinggi). Program numerik saya ini dinamakan 'NUFSAW2D (Numerical simUlation of Free surface ShAllow Water 2D)'.
Model ini telah diverifikasi dalam beberapa kasus Banjir di Kulmbach-Jerman dan Glasgow-Inggris serta Tsunami di Tohoku, Jepang. Dengan menggunakan superkomputer, simulasi-simulasi untuk wilayah dengan jumlah area yang besar pun bisa diselesaikan dengan cepat dan diintegrasikan segera ke dalam Early Warning System (EWS). Selain itu, saya juga mengembangkan algoritma yang efisien untuk perangkat komputasi terkini.
Menurut Anda bagaimana mekanisme penanggulangan bencana di Indonesia?
Salah satu hal yang tidak akan terlepas dari mekanisme penanggulangan bencana adalah sistem peringatan dini (EWS). Menurut pandangan saya, EWS adalah sebuah komponen yang sangat penting, meski sayangnya cukup sering diabaikan, sebagai langkah awal dalam hal penanggulangan bencana secara tepat.
Jika dari awal salah memprediksi, tentu penanggulangan bencana pada langkah selanjutnya menjadi tidak efisien. Hal yang ingin saya capai dalam penelitian ini adalah mengintegrasikan sebuah program numerik yang dapat menghitung karakteristik aliran banjir atau tsunami (ketinggian, kecepatan, dan sebagainya) secara cepat dan akurat ke dalam EWS. Harapan saya adalah program ini dapat dintegrasikan secara 'real-time' ke EWS.
Apa kelebihan dan kelemahan program numerik yang terpararel dengan supercomputer dalam mendeteksi Banjir dan Tsunami?
Kelebihan program numerik dengan bantuan superkomputer ini adalah dapat menghitung karakter banjir atau tsunmai secra parallel dan jauh lebih cepat dari pada komputer biasa pada umumnya, sehingga hasil pun bisa segera diakses oleh pihak berkepentingan.
Kelemahannya adalah dalam faktor ketersediaan teknologi. Mungkin akan banyak yang menganggap bahwa penelitian yang saya lakukan ini akan sulit diterapkan di Indonesia khususnya dalam kerangka 'real-time' EWS. Tentu saja saya setuju dengan hal ini, mengingat belum tersedianya fasilitas-fasilitas canggih di Indonesia seperti superkomputer yang memiliki core tinggi dalam jumlah banyak.
Andaikata ketersediaan superkomputer telah terpenuhi, namun tanpa didukung kondisi infrastruktur yang memadai, seperti jalan-jalan untuk mempermudah jalur evakuasi darurat khususnya di daerah rawan bencana, tentu output penelitian pun tidak dapat diterapkan secara efisien.
Namun, saya berpandangan bahwa dalam jangka pendek-menengah, program numerik ini dapat digunakan sebagai dasar perencanaan EWS di Indonesia jauh-jauh hari sebelumnya. Dengan kata lain, saat ini penggunaan program numerik tersebut tidaklah harus berada dalam kerangka 'real-time' tapi bisa diintegrasikan ke dalam database pihak-pihak terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan (BNPB) untuk hasil yang cepat dan akurat. Sehingga pihak-pihak terkait, dapat melakukan berbagai skenario yang tepat jauh-jauh hari sebelumnya, sebagai contoh, pola perencanaan desain bangunan yang terdampak resiko tinggi akan bahaya banjir atau tsunami.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat dalam mitigasi bencana?
Perlu diingat bahwa kasus-kasus bencana besar seperti tsunami atau banjir bandang tidak dapat diprediksi secara pasti kapan terjadinya. Hingga saat ini konsep utama yang digunakan adalah 'probabilitas terlampaui (exceedance probability)' atau dikenal pula dengan konsep 'periode ulang (return period)'.
Sebagai contoh gempa X skala Richter dengan periode ulang 100 tahun, bukan berarti gempa X terjadi dalam kurun 100 tahun sekali, tapi dalam 100 tahun gempa X bisa berulang, dengan probabilitas yang cukup kecil. Selama probabilitas tidak 0, kemungkinan buruk bisa kapan saja terjadi. Inilah yang sering terjadi pada Tsunami, mengingat prediksi tsunami kecil bukan berarti dapat dilupakan. Selama probabilitas bukan 0%, dengan kata lain segala kumungkinan buruk dapat terjadi kapan saja.
Melalui kejadian tsunami, di satu sisi rehabilitasi pasca tsunami harus dilaksanakan segera mungkin untuk mengantisipasi kejadian-kejadian yang lebih buruk terhadap masyarakat yang terkena musibah. Di sini lain, rehabilitasi yang cepat tanpa mempertimbangkan aspek perencanaan bangunan secara matang yang dapat mengantisipasi kejadian tsunami khususnya dalam hal penurunan korban jiwa akan tetap sia-sia ke depannya.
Apa yang saya ingin saya sampaikan di sini adalah, masyarakat berhak memperoleh pengetahuan mengenai cara-cara terbaik tanggap terhadap bencana, di mana cara-cara tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang berwenang. 'Cara-cara terbaik' tersebut tidak selamanya harus terkait dengan 'real-time' EWS yang canggih untuk menginformasikan jalur evakuasi darurat terbaik. Pendekatan lain namun dapat dilakukan sebagai contoh konsep 'masyarakat hidup dengan bencana', seperti bangunan didesain bertingkat sehingga ketika tsunami datang penduduk tidak perlu panik mencari jalur evakuasi darurat.