Dari Jalur Sutra ke Jalur Buku
3 Oktober 2016Daun-daun pohon dedalu alias liangliu atau willow yang banyak tumbuh di tepian sungai di Beijing melambai-lambai ditiup angin pengujung musim panas. Itu membuat perasaan saya menjadi agak sayu. Padahal pagi itu cuaca cerah dan matahari bersinar terik.
Saya berada di Beijing untuk mengikuti Pesta Buku Beijing (PBB) alias Beijing International Book Fair, salah satu pesta buku terbesar di dunia dan konon terbesar di Asia. Acara itu berlangsung pada 24-28 Agustus 2016 lalu di International Exhibition Center, Beijing, dengan area seluas 78.600 meter persegi, terbesar sepanjang sejarah penyelenggaraannya.
Tahun ini PBB menginjak usia yang ke-30 sejak kali pertama diselenggarakan pada 1986. Confucius alias Konghucu, filsuf ternama Tiongkok yang ajarannya mendunia, pernah berkata, "Pada usia ke-30 seseorang seharusnya telah menjejakkan kakinya dengan kuat di muka bumi.” Demikian pula halnya PBB. Pada gelaran ke-23 di usia ke-30 ia telah menjelma pesta buku terkemuka dan berpengaruh di percaturan perbukuan antarbangsa.
Tahun 2016, Indonesia untuk kali pertama mengirimkan delegasi resmi melalui stan yang dikelola Komite Buku Nasional dan didanai oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Stan Indonesia menampilkan buku-buku dari beragam genre: fiksi, nonfiksi, buku anak-anak, dan komik. Selain di stan buku umum, Indonesia juga hadir di arena buku anak, tepatnya di ASEAN Collective Stand.
Delegasi Indonesia juga mengirim Agustinus Wibowo, penulis catatan perjalanan terkemuka, untuk tampil di Writer's Stage. Agustinus mendapat kehormatan tampil dengan penanggap novelis terkemuka Yu Hua pada 24 Agustus dengan acara bertajuk "Zero: When A Journey Take You Home” yang membahas bukunya, Di Titik Nol.
Buku sebagai Jembatan
Sosiolog terkemuka Tiongkok, Fei Xiaotong (1910-2005), pernah menulis, "Ketika setiap orang menghargai keindahannya sendiri seraya menghargai keindahan orang lain, harmoni akan dapat dicapai di kolong langit.” Untuk menghargai keindahan orang lain itu, kita butuh kesediaan mengenali budaya mereka, menghormati perbedaan, serta memaknai persamaan.
Sejarah peradaban Tiongkok adalah sejarah pertukaran budaya. Itu sudah berlangsung sejak Xu Fu melintasi Laut Cina Timur demi mencari "air kehidupan” pada masa Dinasti Qin (221-207 SM), pembukaan Jalur Sutra pada masa Dinasti Han (202 SM-8), perjalanan Rahib Tripitaka (602-664) ke Barat menuju India untuk mencari ajaran Buddha, kedatangan Ganjin (688-763) di Jepang untuk mengajarkan dharma Buddha pada zaman Dinasti Tang (618-907), penjelajahan Marco Polo (1254-1324) ke Tiongkok pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), muhibah Zheng He (1371-1433) alias Laksamana Ceng Ho menyeberangi Samudra Pasifik dan Samudra Indonesia dengan mengunjungi sekitar 30 negara (bahkan singgah di Semarang) pada masa Dinasti Ming (1368-1644), hingga masuknya budaya Barat ke Tiongkok pada masa Dinasti Qing (1644-1911).
Keikutsertaan delegasi Indonesia dalam PBB tahun ini meramaikan proses pertukaran budaya itu melalui buku sebagai jembatan peradaban. Salah satu acara yang terkait Indonesia, yakni diskusi buku karya Agustinus Wibowo yang menghadirkan Yu Hua sebagai pembicara tamu, bisa dikatakan sebagai salah satu upaya membuka jembatan itu.
Di dalam forum itu Yu Hua secara blak-blakan mengungkapkan sebelum membaca buku Agustinus bayangan dia tentang Indonesia tak jauh dari apa yang ada di benak masyarakat Tiongkok pada umumnya: banyak kesan negatif tentang Indonesia yang terkait perlakuan buruk terhadap orang-orang Tionghoa dari masa ke masa, termasuk seputar peristiwa tragedi pembantaian 1965 dan kerusuhan anti-Cina di Jakarta pada 1998. Namun, setelah membaca buku Agustinus, persepektif dia tentang Indonesia berubah.
Dia menyadari betapa beragam dan multikultur masyarakat Indonesia dengan segala permasalahannya, tak jauh beda dengan situasi di Tiongkok sendiri. Dan tak semua kesan negatif tentang Indonesia itu terbukti. Dalam hal ini, buku telah berperan sebagai agen yang baik bagi sebuah saling pengertian antarbangsa. Buku menjadi jembatan peradaban.
Penerjemahan sebagai Kunci
Dalam PBB tahun ini yang menjadi Tamu Kehormatan adalah negara-negara Eropa Tengah dan Timur, antara lain Serbia, Rumania, Hongaria, Slovakia, Ceska, Slovenia, Lithuania, dan Macedonia. Belarusia bahkan menghadirkan pemenang Hadiah Nobel Sastra 2015, Svetlana Alexievich yang acara peluncuran buku terbarunya, The Second Hand, ke bahasa Mandarin disesaki pengunjung.
Yang menonjol dari negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang umumnya relatif kecil ini adalah upaya mereka untuk membangun jembatan peradaban antarbangsa, antarbudaya, dan antarbahasa melalui program pendanaan penerjemahan.
Slovenia yang kita kenal di antaranya lewat filsuf terkemuka Slavoj Zizek, misalnya, mempromosikan para penulis dan karya mereka secara besar-besaran melalui penerjemahan ke-15 bahasa yang didanai dan ditaja oleh Javna Agencia za Knjigo (JAK, Badan Perbukuan Slovenia). Para penerbit asing yang tertarik menerjemahkan dan menerbitkan karya para penulis Slovenia bisa mengajukan bantuan dana kepada lembaga ini.
Sementara, Hongaria menawarkan bantuan dana penerjemahan atas karya para penulis mereka ke bahasa asing melalui Hungarian Books and Translation Office yang berkantor di Petofi Literary Museum, Budapest. Tak mau kalah, Polandia menawarkan program serupa yang dikelola oleh Polish Book Institute yang baru dibentuk pada 2003.
Kita layak mencontoh program serupa yang didukung penuh dan didanai oleh pemerintah masing-masing. Penerjemahan dan penerbitan buku karya para penulis kita dalam berbagai bahasa asing akan memperkenalkan kekayaan intelektual dan budaya kita, sekaligus membangun jembatan peradaban antarbangsa. Jika pada masa lalu kita mengenal Jalur Sutra dan Jalur Rempah, kini saatnya kita merintis dan mengembangkan Jalur Buku.
Penulis:
Anton Kurnia, penulis dan penerjemah karya sastra, CEO Penerbit Baca.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
(Ed: ap/hp)