Dari Gaza ke Ukraina: Bagaimana Qatar Jadi Juru Damai Dunia?
22 Agustus 2024Pejabat pemerintahan dari Moskow atau Kyiv belum pernah bertemu sejak invasi Rusia berkecamuk pada awal tahun 2022. Namun selama akhir pekan, ramai digosipkan tentang kemungkinan perundingan yang dimediasi oleh Qatar.
Perundingan bisa "menghasilkan gencatan senjata parsial dan menawarkan penangguhan hukuman bagi kedua negara," tulis Washington Post, media pertama yang melaporkan rencana negosiasi antara kedua negara.
Perundingan pada akhirnya dibatalkan karena langkah Ukraina menyerbu Kursk´di Rusia. Namun, berita tentang rencana adanya negosiasi dilihat sebagai kemenangan kecil bagi Qatar.
Ini bukan pertama kalinya Qatar terlibat memediasi konflik di luar Timur Tengah. Monarki di Doha pernah pula membantu pembebasan warga Amerika yang ditahan di Iran, Afganistan, dan Venezuela, serta mengembalikan anak-anak Ukraina ke keluarga mereka setelah diculik ke Rusia.
Qatar juga telah memimpin terobosan diplomatik antara Sudan dan Chad, serta Eritrea dan Djibouti, serta kesepakatan damai Darfur tahun 2011.
Pada tahun 2020, Qatar membantu menegosiasikan penarikan pasukan AS dari Afganistan dengan kelompok ekstremis Taliban. Dan pada bulan November 2023, negosiator Qatar membantu mencapai gencatan senjata sementara dalam konflik Gaza.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Juru damai global
"Kemunculan Qatar sebagai mediator utama telah meningkatkan kedudukan diplomatiknya di dunia, mengubahnya dari negara yang tidak diperhitungkan menjadi aktor penting di panggung dunia," kata Burcu Ozcelik, peneliti senior di lembaga pemikir Inggris Royal United Services Institute kepada DW.
"Peran baru ini meningkatkan pengaruh Doha dan mengukuhkannya sebagai 'mitra perdamaian' yang sangat diperlukan dalam komunitas global."
Menurut analis, dengan memediasi konflik, Qatar ingin secara independen membangun keamanannya sendiri di kawasan yang bergolak.
Doha juga tidak jengah memberi suaka bagi oposisi, kelompok revolusioner, dan militan dari seluruh dunia. Menurut peneliti Timur Tengah Ali Abo Rezeg, Qatar ingin melampaui pesaing regional, Uni Emirat Arab, dan menolak menerima perintah dari jiran besar Arab Saudi, tulisnya dalam sebuah makalah untuk jurnal ilmiah Insight Turkey pada 2021.
Bagaimana Qatar piawai memediasi damai?
Penguasa Qatar dikenal giat memperluas jaringan kontak, mendukung beragam kelompok yang berbeda dengan menyediakan pangkalan, senjata, atau pendanaan.
Organisasi yang pernah mendapat uluran tangan Doha adalah antara lain Taliban, Ikhwanul Muslimin di Mesir, milisi Libya, dan revolusioner antipemerintah di Suriah, Tunisia, dan Yaman selama apa yang disebut "Musim Semi Arab."
Pada tahun 2012, pemerintah AS yang dipimpin oleh Barack Obama meminta Qatar untuk menampung biro politik kelompok militan Hamas, alih-alih membiarkannya pindah dari Suriah ke Iran, yang akan jauh lebih sulit diakses.
Qatar juga menjaga hubungan yang lebih baik, termasuk hubungan ekonomi, dengan Iran daripada negara-negara tetangganya, yang banyak di antaranya menganggap Iran sebagai musuh.
Qatar juga menyewakan Pangkalan Udara al-Udeid untuk militer AS sejak tahun 2001. Al-Udeid saat ini adalah pangkalan AS terbesar di Timur Tengah, dengan sekitar 10.000 tentara. "Qatar jelas diuntungkan dari hal ini karena pemerintah di Barat dan Timur, sampai batas tertentu, menganggap mereka sebagai mitra yang sangat berguna," kata Cinzia Bianco, pakar negara-negara Teluk di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri.
Pada tahun 2022, Presiden AS Joe Biden menyebut Qatar sebagai "sekutu utama non-NATO" sebagian karena peran Doha dalam merundingkan penarikan pasukan dari Afghanistan.
Analis mengatakan bahwa meskipun bekerja sama erat dengan Amerika, Qatar juga bersikap lebih pragmatis terhadap organisasi-organisasi Islam, melihatnya sebagai bagian dari gerakan politik populer yang tidak dapat dihapus atau dihindari.
Dikabarkan, petinggi Taliban mengaku mereka merasa lebih nyaman di Qatar karena sikap pemerintah yang memahami posisi semua pihak.
Netralitas sebagai prioritas
Menurut Bianco, negosiator Qatar tidak selalu memiliki keterampilan khusus. "Saya tidak bisa mengatakan bahwa mereka lebih cakap daripada diplomat yang bekerja untuk pemerintah lain, termasuk di Eropa," kata dia.
"Jadi, menurut saya, kemahiran mediasi Qatar didapat dari sikap untuk berusaha senetral mungkin. Bagi mereka, memainkan peran mediator sangatlah penting, dan itu berarti mereka menempatkannya di atas hal lain, termasuk politik internal dan regional."
Hal itu juga terkait dengan kekayaan Qatar, imbuh Bianco. Sumber daya mereka memungkinkan Doha untuk menampung pelarian dan menangani beberapa krisis sekaligus.
Faktor lain mungkin juga berkaitan dengan rantai komando yang lebih pendek. "Kemampuan Kementerian Luar Negeri untuk mengambil keputusan tanpa dipertanyakan atau diteliti oleh publik berarti bahwa mereka dapat bertindak tegas," ujar Sultan Barakat, profesor kebijakan publik di Universitas Hamad Bin Khalifa di Qatar.
Titian yang berbahaya
Namun, menjadi "negosiator andalan dunia" juga bisa merugikan. Negosiasi Hamas-Israel yang melibatkan Qatar merupakan salah satu perundingan "dengan taruhan paling tinggi" yang pernah dilakukan Doha, menurut para pengamat.
Politisi Israel menuduh Qatar sebagai "serigala berbulu domba" yang mendanai terorisme. Politisi Amerika menyerukan "evaluasi ulang" hubungan dengan Qatar, jika Qatar tidak memberikan tekanan lebih besar pada Hamas. Pada bulan April, AS mengajukan RUU yang dapat membatalkan status Qatar sebagai sekutu utama non-NATO.
Qatar menolak semua tuduhan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kendali atas Hamas.
"Ketika Anda berinteraksi dengan milisi bersenjata non-negara yang melakukan hal-hal buruk, Anda jelas berisiko dituding memvalidasi kelompok-kelompok ini dan telah memberi mereka lebih banyak legitimasi atau akses ke sumber daya," jelas Bianco.
Dua mengatakan argumen Qatar adalah "ya, kami memiliki hubungan ini, tetapi kami menggunakannya untuk kebaikan."
Betapa pun cacat, para analis berpendapat bahwa dunia masih membutuhkan Qatar dalam perannya saat ini.
"Kita telah membayar harga yang mahal karena tidak duduk dan berbicara satu sama lain sebelumnya, selama dua perang dunia," kata Rabih El-Haddad, direktur divisi diplomasi multilateral di Institut Pelatihan dan Penelitian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Swiss, kepada DW.
"Saat ini kita membutuhkan pihak-pihak yang memungkinkan mereka yang berkonflik untuk berbicara satu sama lain dan menyelesaikan perbedaan mereka melalui negosiasi, diplomasi, dan menurut hukum internasional," katanya.
(rzn/hp)