"Cina Membutuhkan Reformasi Ekonomi"
26 Desember 2013
Eropa menjalin hubungan yang pelik dengan Cina. Di satu sisi, Uni Eropa adalah mitra dagang terbesar Cina. Sebaliknya Cina adalah negara kedua yang paling banyak mengekspor ke benua biru itu. Mengingat besarnya volume investasi yang ditanamkan perusahaan-perusahaan Eropa di negeri tirai bambu tersebut, rencana reformasi yang diumumkan Beijing November lalu dipantau dengan serius.
Di sela-sela Pertemuan Ekonomi Jerman-Cina di Köln, Deutsche Welle berbincang-bincang dengan Stefan Sack, Wakil Presiden Kamar Dagang Eropa di Beijing. Sack yang meraih gelar doktor di bidang Fisika dan Biologi Molekuler itu, sejak 2008 hidup di Shanghai dan memimpin perusahaan teknologi otomatik, Comau Shanghai.
Sack antara lain berbicara soal peluang reformasi dan hambatan dagang yang membebani hubungan Cina dan Eropa. Berikut kutipannya:
Deutsche Welle: Publikasi dokumen Kongres Partai Komunis ke-18 bulan November lalu pastinya termasuk perisitiwa paling penting dalam hubungan dagang antara Eropa dan Cina. Dalam dokumen tersebut Beijing menjanjikan lusinan langkah reformasi. Menurut Anda langkah apa yang paling penting untuk perekonomian Cina saat ini?
Stefan Sack: Ada serangkaian langkah reformasi yang menurut kami sudah jatuh tempo, dan berulangkali kami bahas di kamar dagang Eropa. Antara lain termasuk diantaranya reformasi keuangan dan pembebasan suku bunga, sehingga pasar bisa mengontrol suku bunganya sendiri untuk menghindari kesalahan alokasi pada pasar modal. Kekeliruan semacam itu berulangkali berujung pada membengkaknya kapasitas di berbagai sektor industri. Itu adalah satu dari sekian banyak masalah yang sedang dihadapi Cina.
Selain itu perusahaan-perusahaan negara juga membutuhkan reformasi. Negara harus mendefinisikan ulang apa yang menjadi priorioritasnya. Tidak semua yang dianggap sebagai "industri strategis" juga serta merta harus dikuasai negara. Perusahaan pelat merah semacam itu menikmati keuntungan yang sangat besar, jika dibandingkan pesaing lain di pasar atau bahkan membangun monopoli di sektornya masing-masing. Kita tidak bisa menyebutnya sebagai ekonomi pasar bebas. Reformasi di dalam struktur perusahaan negara menjadi salah satu faktor penting.
Kami juga mengimbau agar pemerintah di Beijing menjalankan reformasi industri dan membuka akses investasi asing ke pasar dalam negeri. Jadi modal asing bisa mengalir tanpa harus membentuk anak perusahaan atau memaksakan alih teknologi. Itu semua adalah tuntutan yang kami ajukan sejak beberapa tahun terakhir.
DW: Hambatan dagang apa yang menurut anda menghalangi investor asing untuk menanam modal di Cina? Pada sektor mana belum tercipta pemerataan peluang?
Sack: Soal peluang yang merata masih jarang kami temui di banyak sektor. Hal itu sudah dimulai dari interpretasi yang berbeda-beda terkait situasi hukum perusahaan-perusahaan asing. Kami berharap bisa memiliki pengadilan yang bisa memutuskan duduk perkara secara independen, dengan mata tertutup tanpa berpihak pada salah satu pihak yang berseteru.
Isu lainnya adalah beberapa sektor sama sekali tidak menyediakan akses atau cuma bisa dimasuki dengan menggandeng perusahaan setempat. Isu ini terutama berlaku jika menyangkut uang, seperti proses tender publik. Perusahaan asing akan dipaksa bekerjasama dengan mitra lokal atau menjamin alih teknologi jika ingin ikut serta dalam proses tender. Jadi situasinya sulit.
Kami berpandangan, Cina harus menepati janjinya saat masuk sebagai anggota resmi WTO (Organisasi Perdagangan Dunia -red), dengan menandatangani "Perjanjian mengenai Proses Pengadaan Publik" yang digawangi badan PBB itu. Beijing harus menyediakan persyaratan yang sama untuk perusahaan Eropa di Cina, sebagaimana kebebasan yang dinikmati Cina ketika mengikuti proses tender di Eropa.
DW: Pada pertemuan puncak akhir November lalu Uni Eropa dan Cina sepakat menegosiasikan perjanjian perlindungan investasi. Seberapa besar arti perjanjian tersebut buat perusahaan-perusahaan Eropa?
Sack: Kami menyambut proses negosiasinya. Menurut kami, kepentingan industri Eropa terpusat pada akses pasar dalam negeri di Cina. Komisi Eropa juga membidik hal serupa. Perlindungan investasi tentunya juga sasaran yang tidak kalah penting. Perjanjian bilateral antara Brussel dan Beijing akan memberikan perusahaan Cina keamanan hukum di Uni Eropa, berdasarkan satu dokumen dan bukan 28 dokumen yang berbeda-beda di setiap negara.
DW: Tapi di sisi lain Cina mendorong kesepakatan bilateral pada bidang lain. Terlebih jika menyangkut hubungan dengan Cina, ke-28 negara anggota terkesan tidak mampu berbicara dengan satu suara, sehingga mudah dipecah-pecah oleh Beijing, dengan moto "pecahkan dan kuasai"
Sack: Ya hal itu pasti akan terjadi. Tentu saja setiap negara berupaya menjaring investasi di wilayahnya sendiri. Tapi struktur negara-negara anggota UE sedemikian berbeda, sehingga kita dapat menampung berbagai bentuk investasi dari perusahaan-perusahan Cina. Ancaman bahwa Uni Eropa bisa diadudomba oleh Beijing, saat ini kemungkinannya lebih kecil ketimbang setengah tahun lalu.
Misalnya saja hambatan dagang di sektor panel surya dan expor Wine ke Cina yang menjadi bahan perdebatan baru-baru ini. Tapi di bidang itupun Eropa telah mengambil langkah ke arah yang benar dan menunjukkan kesatuan. Saya kira, kita saat ini mampu menghadapi Cina dalam level yang sama.