Cegah Gagal Panen, Indonesia Semai Awan
23 Juli 2019Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Badan Metereologi dan Geofisika (BMKG) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) akan bekerja sama untuk mengantisipasi bencana kekeringan tahun ini.
Puncak kekeringan akibat El Nino di Indonesia diprediksi akan terjadi mulai pertengahan Agustus hingga pertengahan September.
Plh. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Agus Wibowo, menyampaikan tindakan ini akan diprioritaskan untuk mencegah kegagalan panen di sektor pertanian di wilayah-wilayah teridentifikasi.
BNPB, BMKG, serta BPPT akan berkoordinasi untuk melakukan operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) atau hujan buatan dengan metode cloud seeding (semai awan). Metode semai awan ini juga merupakan salah satu langkah pemerintah mencegah kebakaran hutan.
"Jadi di sini koordinatornya BNPB, kemudian BMKG yang memprediksi daerah-daerah yang akan ada potensi awan bisa disemai atau dibuat hujan buatan di sebelah mana, kemudian BPPT yang akan melakukan operasinya, kemudian TNI yang menyediakan pesawatnya," terang Agus dilansir tirto.id.
"Kalau kita tidak panen padi, nanti kita harus impor lagi. Jadi itu salah satu strategi menanggulangi bencana kekeringan yang kita hadapi saat ini," tambahnya.
Agus menjelaskan, saat ini potensi awan hujan kurang dari 70 persen sehingga belum dapat dilakukan operasi TMC. Namun demikian, pesawat milik BPPT dalam posisi siap beroperasi jika ada wilayah yang berpotensi untuk melakukai semai awan. Nantinya BNPB, BMKG, dan BPPT akan mendirikan dua pos operasi di Halim, Jakarta, dan Kupang, NTT.
Garam disemai ke dalam awan
Kepada DW Indonesia, Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi WALHI, Dwi Sawung, menjelaskan metode semai awan ini dilakukan dengan cara menyemai garam ke dalam awan hujan untuk memicu turunnya air hujan.
“Jadi dicari bibit awan hujan, kadang-kadang ada awan tapi ngga turun hujan, nanti disiram NaCL untuk memicu turun hujan karena massa awannya jadi lebih berat. Biasanya berhasil, tapi lihat dulu ketebalannya,” jelas Sawung.
Ia pun meyampaikan bahwa diperlukan awan hujan yang cukup untuk menerapkan teknologi modifikasi cuaca. Karena menurutnya banyak faktor yang berperan dalam keberhasilan metode semai awan.
“Itu juga tergantung kondisi alam. Sekarang mau dibuat hujan buatan, karena belum tentu juga awan yang akan disemainya ada dan di posisi yang diinginkan agar turun hujan. Contohnya kekeringan di Jakarta tapi bibit awannya tidak ada di Jakarta, adanya di Bekasi, ya ngga bisa juga,” terang Sawung saat dihubungi DW Indonesia.
Sawung menegaskan saat ini perubahan iklim memberikan dampak signifikan di Indonesia. Akibatnya, musim kemarau akan jauh lebih panjang, suhu tertinggi maupun suhu terendah pada saat musim kemarau juga akan ikut meningkat.
Ia juga berpendapat gagalnya panen di beberapa wilayah terjadi karena tidak sampainya prediksi cuaca BMKG kepada para petani. Padahal menurutnya, tingkat keakuratan prediksi cuaca BMKG sangat tinggi.
“Kalau ikut prediksi BMKG tidak akan ada gagal panen sebenarnya. Nanti ketahuan musim kemaraunya minggu ke berapa, dilihat cocok musim tanamnya kapan, ketahuan di daerah mana yang akan hujan. Tidak perlu hujan buatan. Nah kadang-kadang ini yang tidak sampai ke level bawah. Saya tidak tahu penyuluhnya itu baca prediksi BMKG atau tidak, atau hanya berdasarkan tahunan saja, melihat tahun lalu. Padahal tidak begitu,” tegas Sawung.
Selain dengan menerapkan teknologi modifikasi cuaca, menambah daerah hijau serta hutan bisa menjadi solusi alami untuk mencegah terjadinya bencana kekeringan. Cadangan air akan bertambah seiring dengan bertambahnya daerah resapan air.
55 kabupaten dan kota darurat kekeringan
Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, dalam rapat terbatas pada 15 Juli menugaskan para menteri dan para kepala daerah untuk mengambil tindakan guna menghindari ancaman gagal panen akibat kekeringan.
Berdasarkan data BNPB hingga 22 Juli 2019, setidaknya ada 20.269 hektar lahan pertanian yang berisiko gagal panen akibat kekeringan. Ada 55 wilayah kabupaten dan kota yang telah menetapkan siaga darurat kekeringan antara lain di Banten, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Sementara wilayah kabupaten/kota yang terdampak kekeringan berjumlah 75 kabupaten/kota, termasuk dua kabupaten di Bali. Kegagalan panen akibat bencana kekeringan berpotensi menimbulkan kerugian lebih kurang 250 juta dolar AS atau setara dengan Rp 3 triliun.
rap/ae (dari berbagai sumber)