Butuh Berapa Lama Indonesia Ungkap Kebenaran?
2 Oktober 2017Akibat perbuatan Nazi, Jerman "terpojok” untuk bersikap. Untung Jerman memiliki pemimpin yang bersedia meruntuhkan tembok penghalang dan membangun jembatan pemulihan agar keluarga korban dan penyintas bisa mencicipi kebenaran, meski sudah terlambat 60 tahun. Jika membandingkan kasus dokumen Nazi dan sikap Jerman dengan kondisi di Indonesia, apakah ini berarti baru pada tahun 2025 bangsa Indonesia bisa mengetahui kebenaran 1965? Atau pada tahun 2058 untuk mengungkap Peristiwa Mei 1998?
Pada tahun 2014, saat mendapat kesempatan ke Australia untuk kursus singkat jurnalistik topik lingkungan, saya mampir ke Museum Holocaust Melbourne. Kebetulan ada acara Diskusi Umum dengan pembicara Paul Shapiro, Direktur Mandel Centre for Advanced Holocaust Studies pada Museum Holocaust di Washington DC, Amerika Serikat. Paul Shapiro menyampaikan pengalamannya berjuang membuka data arsip dari International Tracing Service (ITS) atau Layanan Penelusuran Arsip Internasional. Paul Saphiro berusaha keras agar arsip rahasia milik Hitler tersebut dapat diakses terutama oleh keluarga korban dan publik. Dalam pencatatan, Nazi termasuk sangat teratur dan lengkap. Paul Saphiro menunjukkan berbagai foto dokumen saat presentasi. Catatan Nazi tersebut adalah bentuk kebanggaan mereka yang berhasil menguasai orang Yahudi dan pertanggungjawaban mereka terhadap Hitler.
Satu hal yang menjadi pertanyaan, mengapa dokumen ITS perlu dibuka?
Bukankah itu akan menimbulkan luka dan trauma? Paul Saphiro menyatakan, ‘Informasi terkait ITS harus berada di tangan penyintas dan keluarga korban, ini adalah kewajiban moral dari kita yang hidup.” Selain itu data ITS merupakan tambang emas untuk riset mengenai Holocaust karena banyak pula penyintas yang masih anak-anak saat berada di kamp konsentrasi.
Namun, satu hal yang terpenting Paul Saphiro menegaskan, ITS membantah penolakan banyak orang terhadap Holocaust. Berkat ITS maka kebenaran sejarah bisa dibuktikan. ITS menyimpan seluruh data terkait persekusi, pemindahan paksa, kerja paksa dan Holocaust oleh Nazi dengan jumlah mencapai lebih dari 50 juta halaman dokumen yang berkaitan dengan nasib lebih dari 17,5 juta orang.
Arsip ITS awalnya dimiliki oleh Palang Merah Inggris dengan tujuan mengizinkan keluarga melacak keberadaan jutaan orang pengungsi dan orang hilang selama Perang Dunia Kedua. Lokasi penyimpanan ITS secara fisik sekarang bertempat di Bad Arolsen, Jerman namun tersedia layanan online bagi perpustakaan di seluruh dunia yang berminat memberi layanan pelacakan dokumen dan penelitian historis.
Butuh 60 Tahun Untuk Membuka Arsip ITS
Meski akhirnya ITS bisa diakses oleh publik, namun perjalanan untuk mendapatkan akses sungguh berliku. ITS dikumpulkan dari dokumen catatan transportasi orang, data penjara dan data dari Gestapo. Menurut Paul Saphiro ada 100 juta data dari seluruh dunia. Data juga diperoleh dari tentara sekutu dan dari Kamp Pembebasan yang dikelola oleh Badan PBB yang menangani Pemulihan dan Rehabilitasi yang menampung mereka yang dibebaskan dari kamp konsentrasi.
ITS dijalankan oleh komisi yang terdiri dari 11 negara yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Belgia, Belanda, Yunani, Polandia, Luksemburg dan Israel. Untuk mencegah keingintahuan publik, Palang Merah sempat membantah dokumen ITS ini eksis. Jerman pun menolak mengungkap data tersebut. Bahkan Amerika Serikat ikut-ikutan ragu dan berharap negara lain yang menuntut pengungkapan dokumen tersebut.
Mengapa Israel Tidak Menuntut ITS Dibuka?
Pada tahun 2004, Badan Khusus Internasional mengenai Pendidikan, Mengenang dan Riset Holocaust bertemu di Roma, Italia dan sampai pada pertanyaan "Siapa yang akan memegang kendali ITS?” Jerman, Italia, Belgia dan Palang Merah Dunia akhirnya mau membuka ITS tapi tidak mau bertanggung jawab atas dampaknya. Sementara Belanda, Polandia dan Israel diam, tak bersuara. Ada peserta diskusi yang mempertanyakan alasan Israel tidak menuntut pengungkapan ITS, padahal Israel seharusnya paling berkepentingan soal ini. Paul Saphiro menyebutkan Israel diliputi keraguan sehingga memilih untuk tidak bertindak sementara Amerika memiliki banyak alasan untuk bertindak dan memaksa pengungkapan ITS.
Saat itu media sangat berperan penting membuka mata publik. Adalah sebuah koran lokal Mineapolis Star Tribune yang menurunkan tulisan tentang ITS. Sebuah koran di Jerman mempertanyakan momen pengungkapan ITS yang berdekatan dengan peresmian Berlin Memorial yang dikhawatirkan menimbulkan kontroversi. Lalu New York Times, Washington Times dan International Herald Tribune mulai menaruh perhatian pada isu ITS.
Puncaknya pada 2006, sebuah berita muncul di New York Times, "German Agrees to Open Holocaust Archive”. Butuh waktu 60 tahun bagi Jerman untuk memutuskan memberikan akses ITS bagi publik. Perdana Menteri Jerman Angela Merkel yang paling berperan dan patut diberi apresiasi karena keberaniannya mengubah kebijakan terkait ITS. Jerman setuju memberikan salinan dokumen ke semua Holocaust Memorial Centre. 11 negara akhirnya meratifikasi perjanjian ITS. Lalu pada 2007, program TV "60 Minutes” menurunkan episode tentang ITS dengan judul: "Hitler's Secret Archieves”. Pada November 2007, ITS dibuka untuk publik. Paul Saphiro berkomentar, "Sangat terlambat untuk banyak orang.”
Lantas apa signifikasi dari dibukanya data ITS dan konteks Indonesia?
Holocaust yang terjadi pada 1939 hingga 1945 bukan dilakukan oleh bangsa Jerman tetapi oleh Partai Nazi sebagai pemenang Pemilu namun akibatnya diderita oleh seluruh Jerman. Namun ada kemauan dari pemimpin Jerman untuk mengobati luka masa lalu dengan menelan "pil pahit” mengakui kesalahan alih-alih cuma membalut dengan "perban melupakan”. Rasa-rasanya Indonesia perlu sosok pemimpin yang bersedia meniru jejak nekad Merkel. Saatnya Indonesia memiliki Tim Pengungkapan Kebenaran Peristiwa '65 untuk menyudahi polemik sejarah saban bulan September. Saatnya kebenaran diperbincangan dalam ruang-ruang diskusi dan sejarah ditulis tanpa beban masa lalu dan bersih dari intimidasi dan ketakutan. Korban langsung Peristiwa '65 saat ini sudah jompo, mungkin generasi kita adalah generasi terakhir yang dapat mendengar langsung kesaksian mereka. Keluarga para korban pun tak hidup selama-lamanya, bukan? Kapan lagi kalau bukan sekarang?
Penulis:
Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.