Berjuang Meredam Covid-19 di Asrama Pengungsi di Berlin
16 April 2020Tidak mudah menerapkan jarak aman ketika 200 orang tinggal di satu asrama dan harus berbagi dapur dan kamar mandi. Katie Griggs, pengurus salah satu asrama penampungan pengungsi di Berlin, tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa minggu terakhir.
"Ini benar-benar sulit," katanya. "Mereka tidak bisa menjaga jarak ketika harus sikat gigi dan menggunakan dapur bersama-sama dengan banyak orang."
Beberapa keluarga di asrama itu memang mendapat fasilitas kamar dengan kamar mandi dan dapur sendiri, tetapi kebanyakan penghuni harus berbagi ruangan dengan 16 orang lain. Sejauh ini, untuk meminimalkan risiko diterapkan penjadwalan penggunaan dapur dan kamar mandi. Lalu ada pembagian masker untuk seluruh penghuni asrama.
"Berbagi ruangan dengan banyak orang saja sudah bisa membuat stres, tetapi sekarang mereka juga harus tergantung pada sensibilitas orang lain," kata Katie Griggs. "Mereka harus berbagi kamar dengan orang yang tidak mereka kenal sebelumnya. Jadi kamu harus berdiam di kamar sepanjang hari dengan orang-orang lain, yang mungkin tidak terlalu peduli dengan keadaan kamu."
Komunitas yang sudah rentan sebelum Covid-19
Penghuni asrama pengungsi ini berasal dari berbagai latar belakang, tapi semuanya telah menjalani masa pengungsian yang penuh tantangan. Beberapa orang memiliki penyakit atau cacat fisik, yang lain mengalami gangguan stres pasca-trauma dari pengalaman mengerikan sebelum mereka tiba di Jerman.
"Saya merasakan tanggung jawab besar untuk melindungi orang-orang yang rentan ini," kata Katie Griggs, menerangkan kesulitan yang dihadapi staf asrama pengungsi di tengah pandemi Covid-19. "Para staf setiap saat memikirkan apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko. Kami harus menyiapkan banyak hal, mengidentifikasi orang-orang berisiko tinggi, mencoba memindahkan mereka ke tempat yang lebih baik.“ Karena ruang bermain anak-anak sesuai prosedur kesehatan sekarang tidak bisa digunakan, Katie Griggs menempatkan keluarga dengan wanita hamil di sana.
Mimpi terburuk bagi Marie Griggs dan stafnya tentu saja jika ada kasus Covid-19 menyebar di asrama. Tetapi mereka sudah mempersiapkan situasi itu dengan menyiapkan kamar-kamar kosong yang direnovasi dan ditetapkan sebagai area karantina: Satu area disiapkan untuk kasus-kasus yang belum terkonfirmasi dan satu lagi untuk kasus yang terkonfirmasi.
Jika ada kasus infeksi Covid-19, Katie Griggs berharap dia bisa membujuk otoritas kesehatan setempat dan pihak berwenang untuk tidak mengkarantina seluruh gedungn atau mengunci semua orang. Sejauh ini, mereka masih beruntung, karena hanya pernah ada satu kasus yang diduga Covid-19. "Tapi hasil tesnya negatif," kata Katie Griggs. "Jadi, kami semua bersorak sangat keras."
Orang-orang yang tegar
Semua penghuni harus mendapat informasi tentang tindakan apa saja yang harus diambil dan aturan menjaga jarak apa saja yang sedang diberlakukan. Kalau ada aturan baru, semuanya harus dikomunikasikan sebaik mungkin. Ini bisa menjadi sangat rumit, karena penghuni asrama berkomunikasi dalam banyak bahasa dan berasal dari 25 negara berbeda, terutama dari Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur.
Hanya sedikit penghuni yang memiliki pekerjaan. Kebanyakan masih mengikuti kelas-kelas persiapan dan kursus Bahasa Jerman. Tetapi karena Covid-19, semua kegiatan itu terhenti. Sekarang mereka harus menemukan cara untuk mengisi waktu: Seorang lelaki sekarang menjahit masker untuk penghuni lain, yang lain membersihkan halaman dan membuat lukisan untuk hiasan dinding.
"Sebagian besar dari mereka telah melalui situasi yang mengerikan. perang, pelayaran melintasi laut, mereka orang-orang yang tegar," kata Katie Griggs. (hp/vlz)