Belajar ‘Hierarki Pemulihan Makanan’ dari Garda Pangan
10 Juni 2021Melihat begitu banyaknya makanan berlebih yang terbuang sia-sia terutama dari industri hospitality, membuat Eva Bachtiar bersama dua orang koleganya, mendirikan sebuah komunitas bank makanan di Surabaya. Garda Pangan namanya.
Mereka mengumpulkan makanan berlebih dari restoran, katering, bakery, hotel, lahan pertanian, event, pernikahan, dan donasi individu, untuk kemudian disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan. Tentu saja setelah melewati serangkaian proses uji kelayakan makanan.
Kepada DW, Eva mengaku bahwa belum banyak solusi yang didiskusikan apalagi diimplementasikan secara nyata untuk mengatasi masalah sampah makanan di Indonesia. Padahal ada beberapa fakta miris yang menjadikan isu sampah makanan sebagai masalah serius yang seharusnya memerlukan solusi mendesak.
Salah satunya adalah fakta bahwa Indonesia merupakan negara pembuang sampah makanan terbesar kedua di dunia, padahal ada 19,4 juta warga yang masih tidur dalam keadaan perut lapar setiap harinya. "Sangat ironis,” ujar Eva saat diwawancara DW.
Namun bukan hanya merugikan dari sisi ekonomi saja, dampak sampah makanan juga menurutnya berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. "Sampah makanan itu kalau bertumpuk di TPA dia berdampak buruk bagi lingkungan karena dia mengeluarkan gas metana yang berkontribusi ke krisis iklim,” ujarnya.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk ikut berkontribusi dalam mengatasi masalah sampah makanan di tanah air? Menurut Eva, tidak harus lewat aksi-aksi heroik, tapi bisa dimulai dengan hal-hal sederhana dari rumah.
"Salah satu panduan sederhananya itu kita nyebutnya food recovery hierarchy. Jadi itu intinya adalah urutan prioritas bagaimana cara kita mengelola makanan supaya dia tidak berakhir di TPA,” ujar Eva.
Urutan prioritas 'Hierarki Pemulihan Makanan'
Menurut Eva, yang menjadi prioritas paling atas adalah "menghindari sampah makanan sejak awal”. Caranya yaitu dengan membuat meal preparation alias persiapan makanan untuk misalnya beberapa hari ke depan.
"Kita bikin daftar belanjaan bahannya terus kemudian kita belanja sesuai daftar itu saja jadi itu mencegah kita lapar mata,” katanya seraya menambahkan bahwa "kalau belanja dalam skala besar akan cenderung lebih menghasilkan sampah makanan dibandingkan belanja dalam skala yang lebih sedikit tapi lebih sering.”
Kalau kemudian makanan berlebih di rumah tangga masih susah untuk dihindari dan makanannya masih layak makan, maka prioritas kedua yang bisa dilakukan adalah dengan mendonasikannya kepada tetangga dan keluarga. "Dalam skala besar bisa memanggil bank makanan seperti Garda Pangan,” ujar Eva.
Sementara untuk makanan sisa yang sudah tidak layak makan atau sudah basi (rusak), maka dapat dijadikan sebagai pakan ternak atau dalam skala industrial bisa dijadikan biogas. Itu adalah prioritas ketiga.
"Yang terakhir baru kita kompos,” jelas Eva. Prioritasnya seperti itu baru yang terakhir kita buang dan berakhir di TPA. Jadi memang fokusnya itu mencegah bagaimana caranya sampah makanan kita tidak sampai berakhir di TPA,” tambahnya.
Pandemi membuat program Garda Pangan terhambat
Bicara tentang program Garda Pangan, Eva mengaku bahwa pandemi COVID-19 cukup membuat pekerjaan mereka terhambat. Pasalnya, sumber makanan berlebih yang mereka kumpulkan berkurang drastis menyusul banyaknya industri hospitality yang tutup atau berhenti beroperasi akibat pandemi.
Namun, hal itu tak membuat mereka kehilangan akal. Program kerja yang awalnya berfokus pada food recovery akhirnya mereka ubah menjadi food donation.
"Jadi kita yang menggalang donasi saja dari rekan-rekan yang peduli dan ternyata surprisingly responsnya luar biasa besar jadi banyak sekali yang membantu baik dari rekan-rekan kita di bisnis-bisnis lokal terus dari katering, dari individu dari perusahaan, pada ikutan donasi semua. Dan itu yang kita donasikan ke orang-orang yang membutuhkan,” jelas Eva.
Selain itu, Garda Pangan juga menerapkan solusi gleaning untuk membantu para petani yang terpukul akibat dampak corona. Di tengah pandemi saat ini, mereka menemukan bahwa banyak sekali harga komoditas pertanian yang anjlok.
"Jadi kita sama-sama ke lahan pertanian kita kumpulkan buah dan sayur yang sama petani itu biasanya ditinggal secara sengaja, karena kalaupun mereka panen, profitnya itu tidak akan nutupin ongkos buruhnya. Jadi mereka lebih memilih yaudah ditinggalin aja gitu di lahan. Nah, itu kita panenin, kita bantu jualin juga,” tutup Eva.
gtp/hp