1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikIndonesia

Bamsoet Didesak Minta Maaf atas Pernyataannya Soal Papua

29 April 2021

Tidak hanya dianggap memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua, Koalisi Masyarakat Sipil menilai pernyataan Bambang Soesatyo tidak mencerminkan etika pimpinan MPR yang dituntut menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia.

https://p.dw.com/p/3siEO
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI Bambang SoesatyoFoto: Onur Coban/AA/picture alliance

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua menyesalkan dan mengecam pernyataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) soal dorongan kepada pemerintah untuk menurunkan aparat keamanan dengan kekuatan penuh ke Papua untuk menumpas kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua. Mereka menyoroti pernyataan Bamsoet yang meminta penumpasan KKB tanpa mempertimbangkan aspek hak asasi manusia (HAM) terlebih dahulu.

"Pernyataan yang Bapak sampaikan, tidaklah mencerminkan kepribadian dan etika yang baik selaku pimpinan anggota MPR RI. Padahal, secara etik, berdasarkan Keputusan MPR 2/2010 tentang Peraturan Kode Etik MPR, setiap anggota dituntut untuk juga menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia," demikian pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Papua, Rabu (28/4/2021).

Pernyataan ini dibuat oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Jakarta, Walhi Papua, Greenpeace Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, SAFEnet, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Satu Keadilan, Perkumpulan JUBI, Imparsial Jakarta, serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).

Mereka mengingatkan, dalam UUD 1945, yang jadi pedoman bernegara juga diatur soal negara harus memberi perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan HAM bagi setiap orang. Mereka meminta semua pejabat publik mengimplementasikan nilai tersebut.

Pernyataan Bamsoet dinilai memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua

Mereka menilai pernyataan Bamsoet justru memperburuk kondisi kemanusiaan di Papua dan dikhawatirkan akan dijadikan legitimasi bagi aparat keamanan di Papua untuk bertindak sewenang-wenang dan tidak manusiawi.

"Perlu Bapak ketahui, akibat dari operasi keamanan bertahun-tahun di Papua, banyak sekali tragedi hak asasi manusia yang terjadi, seperti peristiwa Wasior dan pembunuhan ketua Presidium Dewan Papua Theys Eluay pada 2001 peristiwa Wamena tahun 2003, peristiwa Paniai 2014, Pembunuhan terhadap Luther Zanambani, Apinus Zanambani dan Pendeta Yeremia pada 2020. Kemudian berbagai tragedi hak asasi manusia lainnya yang mengancam keselamatan masyarakat sipil," katanya.

Mereka menyatakan memahami warga sipil hingga aparat keamanan, termasuk Kepala BIN Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha menjadi korban. Mereka meminta kasus diungkap menggunakan pendekatan criminal justice system/sistem peradilan pidana.

"Atas peristiwa tersebut, tentu kami juga mengutuk keras dan mendorong pihak kepolisian untuk segera mengungkap dan menangkap pelaku yang bertanggung jawab," katanya.

“Kekerasan tidak akan menjawab akar persoalan”

Mereka menilai pengerahan aparat keamanan dan menggunakan kekerasan tidak menjawab akar persoalan. Mereka lalu memaparkan 4 temuan kajian LIPI tentang Papua, yakni marjinalisasi terhadap masyarakat Papua, kegagalan pembangunan, persoalan status politik Papua, dan pelanggaran HAM.

Menurutnya, sebaiknya Bamsoet mendorong pemerintah untuk menindaklanjuti temuan LIPI tersebut dan mengupayakan cara-cara damai berupa pendekatan dialog untuk menyelesaikan akar permasalahan yang terjadi.

Mereka juga meminta akuntabilitas dan transparansi terkait pengerahan personel TNI serta kondisi kemanusiaan di Papua. Mereka meminta masyarakat Papua yang terdampak konflik bersenjata untuk dipenuhi kebutuhan sosial, kesehatan, hingga pangan.

"Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, kami mendesak kepada Bapak H Bambang Soesatyo, S.E., M.B.A. selaku Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk menarik pernyataan Bapak tersebut, menyatakan permohonan maaf secara terbuka kepada publik dan mendorong pemerintah menyelesaikan akar masalah di Papua dengan cara-cara damai," ungkapnya.

Apa pernyataan Bamsoet sebenarnya?

Sebelumnya, Bamsoet menyerukan agar semua anggota gerakan separatis dan teroris ditumpas habis. Dia menilai rentetan aksi brutal KKB telah menelan banyak korban, termasuk Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha yang tewas seusai kontak tembak di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, pada Minggu (25/4).

"Memangnya para separatis dan teroris itu pakai teori Hak Asasi Manusia saat membunuh rakyat dan aparat yang bertugas? Sikat habis, tumpas dan ratakan para separatis dan teroris yang tidak berperikemanusiaan itu," tegas Bamsoet di Jakarta, Selasa (27/4).

Bamsoet menyatakan siap bertanggung jawab di hadapan hukum internasional atas aksi perlawanan terhadap anggota kelompok separatis.

"Sebagai pimpinan MPR RI, demi melindungi rakyat dan negara, saya siap menjadi orang yang bertanggung jawab di hadapan hukum internasional atau hukum mana pun. Terpenting, para separatis dan teroris bisa musnah dari bumi Indonesia," ungkap Bamsoet.

Dia menjelaskan, dari aspek pertahanan keamanan nasional dan hukum, sangat jelas kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua bukanlah kelompok kriminal bersenjata biasa. Mereka termasuk gerakan yang memiliki motivasi politik untuk memisahkan diri dari NKRI sehingga gerakan KKB, lanjutnya, bersifat melawan pemerintah yang sah (makar).

"Mereka jelas tidak punya right to self determination (hak menentukan nasib sendiri). Karena ketika Papua telah menjadi bagian integral NKRI berdasarkan New York Agreement 1962, maka hak menentukan nasib sendiri serta-merta batal demi hukum," urai Bamsoet. (Ed: gtp/pkp)

Baca artikel selengkapnya di: DetikNews

Koalisi Sipil Desak Bamsoet Minta Maaf soal Seruan Penumpasan KKB Papua