Bagaimana Perempuan Lindungi Diri di Rantau?
12 Desember 2021"Lima tahun sudah rasanya seperti di neraka. Bicara salah sedikit dibentak-bentak, atau jika saya lupa sesuatu suami bisa sampai banting barang. Jika saya melawan dia memukul saya,” ujar Andrea (bukan nama sebenarnya-ed), warga Indonesia di Jerman yang akhirnya mencari perlindungan organisasi perempuan di negara bagian Nordrhein-Wesfallen untuk didampingi dalam kasus kekerasan domestk yang dialaminya.
Bertahun lamanya ia tak mau membicarakan masalah yang dialaminya kepada warga Indonesia lainnya di Jerman. Ia pun tak berani menceritakan ke kerabat dan keluarganya di tanah air, karena takut dicerca dan dibilang 'salah sendiri' atau jadi bahan gosip.”Saya merasa sendirian sekali. Saya malu. Rasanya aib membicarakan kejelekan suami. Ketika sudah tidak tahan lagi, saya mencari bantuan organisasi dan mereka membantu saya,” ujarnya lirih.
Andrea kemudian memutuskan bercerai dengan pengacara yang disediakan lembaga bantuan perempuan. Semua harta milik bersama dibagi dua meski sebenarnya Andrea tak menginginkannya.
Sebagaimana Andrea, beberapa perempuan juga memilih diam ketika mengalami kekerasan di dalam rumah tangganya. Termasuk, Rizki Suryani. Tapi itu dulu. Kini penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tersebut malah berusaha membantu perempuan-perempuan korban KDRT di luar negeri untuk bersuara dan melindungi diri. Perempuuan yang baru bermukim di Swedia tahun 2021 ini bercerita baru saja membantu perempuan korban kekerasan domestik. "Akhirnya dia baru keluar dari KDRT-nya, dia mengalami kekerasan verbal dan juga fisik. Alhamdulillah, dia akhirnya bisa memutuskan untuk keluar dari masalah KDRT-nya dan ditolong oleh pemerintah setempat di sini. Dan sistem mereka bagus untuk perlindungan pada perempuan yang mengalami KDRT, didampingi pengacara sama penerjemah di sini. Didukung dengan tempat tinggal dan kebutuhan bulanan. Tapi sebelum itu, kasusnya diinvestigasi terlebih dahulu. KDRT-nya benar terjadi seperti yang dia sebutkan, dia laporkan. Pemerintah cukup bertanggung jawab di sini, dilindungi jadinya perempuan-perempuan korban KDRT,” tutur Rizki.
Membantu perempuan di negara-negara lain
Tak hanya perempuan di Swedia, ia juga membantu perempuan-perempuan Indonesia di negara lainnya. "Ada pula yang susah untuk mengambil keputusan padahal sudah dipukuli dan dikerasi, alasannya anak dan ekonomi. Kalau dia sendiri tak ada kemauan untuk keluar dari kekerasan itu, cukup sulit juga membantunya,” demikian tutur Rizki.
Seorang aktivis perempuan di Jerman asal Indonesia, Anna Knöbl menambahkan tidak mudah untuk membantu perempuan keluar dari lingkaran kekerasan domestik, terutama di luar negeri. "Karena kekerasan dalam rumah tangga masih dianggap tabu atau masih menjadi aib yang sulit untuk diceritakan. Padahal bagaimana kita bisa melindungi diri, kalau kita tidak bisa melaporkan atau menceritakan apa yang terjadi," tandasnya.
Tinggal di luar negeri dianggap sebagai keromantisan, tambah Anna. ”WNI juga memerlukan pembekalan untuk menghadapi gegar budaya di luar negeri, dan membekali diri untuk bisa melindungi diri saat terjadi kekerasan atau saat terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki. Biasanya hal ini menimpa diaspora Indonesia karena ketidaktahuan, termasuk juga ketidakmampuan bahasa yang dikuasai di wilayah tinggal mereka, tambahnya.
Rizki Suryani sendiri belajar untuk membantu korban-korban KDRT dari pengalaman pribadinya ketika menikah dengan warga negara asing di Indonesia tahun 2008. "Yang saya alami lebih pada kekerasan secara emosional atau mental, jadi didamprat, dicaci maki, dicela. Kadang dilempar barang di depan muka,” ungkap Rizki. "Sekitar hampir 5 tahun. Selama 6 tahun itu, saya berusaha untuk melupakan masa lalu. Tapi tidak bisa, jadi lebih ikhlas menerima masa lalu. Itu adalah bagian dari masa lalu saya. Jadi lebih memaafkan diri sendiri, lebih menerima. Itu adalah salah-satu bagian untuk bangkit kembali," tambah Rizki.
Bangkit dari keterpurukan
Setelah taruma berkepanjangan, Rizki menikah dengan pria lain asal Swedia di awal tahun 2021. Ia mengakui trauma masa lalu kadang menghantuinya. "Traumanya yang tersisa sampai sekarang itu saya sensitif sama suara yang tinggi, kalau ada orang yang emosi langsung takut, jadi langsung ciut, rasanya ciut," tandasnya.
Tak ingin lebih banyak jatuh korban kekerasan domestik, Rizki berbagi kiat bagi perempuan Indonesia yang ingin merantau dan menjalani pernikahan di negara orang. " Pasti sulit ya. Apalagi kita perantau. Apalagi kalau kita baru tinggal di sini yang kita tidak tahu apa-apa tentang sistem hukum mereka kan atau bagaimana kalau kita ada masalah, lalu bagaimana begitu. Kita tidak punya teman atau teman baru pun tidak ada. Lebih baik, sebelum pindah menetap di sini, belajar mengetahui tentang negara ini, bahasanya, lalu kalau terjadi apa-apa nomor daruratnya berapa, rumah sakit dan polisi disimpan semua nomor-nomornya, dan lapor kedutaan. Jadi semua itu harus dilakukan untuk perantau, ya. Kalau ada apa-apa, kita aman. Walaupun kita tidak punya siapa-siapa. Belajar mengikuti protokol dan hukum di sini atau lapor polisi, lapor organisasi," ujarnya.
Suami kedua Rizki, Morgan Strömqvist -yang membantunya bangkit melawan keterpurukan dari pernikahan pertamannya- meninggal dunia pada bulan Oktober 2021, hanya beberapa bulan setelah meresmikan pernikahannya dengan Rizki, "Dia adalah bukti nyata masih ada orang-orang baik di sekitar kita. Ia meninggalkan saya dengan mempersiapkan diri saya agar tegar sebagai individu. Kepergiannya adalah kehilangan terbesar bagiku," pungkasnya.