Bagaimana Kaum Muda Jerman Mengenang Sejarah Holocaust?
26 Januari 2024Pekan ini, kota Oświęcim di selatan Polandia kembali menjadi episentrum peringatan kekejaman Nazi Jerman. Di sana, berdiri kamp konsentrasi Auschwitz-Birkenau, penjara sekaligus tempat pembantaian warga Yahudi. "Saya benar-benar ingin pergi ke sana," kata Cara, pemudi berusia 17 tahun asal kota Köln, Jerman. Bersama murid sekelasnya, dia menyambangi kamp konsentrasi terbesar itu.
"Di sana, untuk berjalan di dalam kamp, dan merasakan bahwa di tempat yang sama 80 tahun lalu manusia dipenjara dan diperlakukan secara kejam," tuturnya.
Konfrontasi dengan trauma sejarah
Kamp konsentrasi Ausschwitz-Birkenau menjadi saksi pembantaian terhadap lebih dari satu juta tahanan NAZI yang mayoritasnya adalah warga Yahudi. Keberadaannya menjadi simbol kebiadaban NAZI Jerman dan hingga kini diperingati sebagai tonggak sejarah Holocaust.
Kengerian itu kini dihadapi para murid sekolah yang berusia antara 17 dan 18 tahun. Cara yang kini duduk di kelas ke12, sejak tahun lalu sudah mempersiapkan perjalanan bersama 20 murid lain. Di Oświęcim, mereka berniat tinggal selama sepekan.
"Partisipasinya bersifat sukarela. Para murid melamar untuk ikut proyek ini dan bahkan harus diseleksi," kata Kazrin Kuznik, guru sekolah yang sudah berulangkali mengorganisir perjalanan serupa. Bagi tenaga pendidik, perjalanan menuju Ausschwitz-Birkenau menjadi "sebuah tantangan." "Untungnya para murid membawa serta gairah belajar dan bisa mandiri di lokasi, serta mengolah apa yang dialami dengan baik, ujarnya. "Perjalanan ini merupakan tanggung jawab besar pagi kami yang mendampingi. Tapi sejauh ini segalanya berjalan baik."
Jerman, gerakan ekstem kanan dan sebuah peringatan
Jerman berusaha terus mengingatkan kekejaman Nazi yang membantai jutaan warga Yahudi, membunuh etnis Sinti dan Roma, kaum homoseksual, oposisi politik, pegawai gereja atau warga sipil biasa. Namun 80 tahun setelah berakhirnya Perang Dunia II, negeri ini ironisnya masih tetap berjuang menghadapi gerakan ekstrem kanan yang ditandai dengan menguatnya partai populis Alternatif untuk Jerman (AfD).
Lantas bagaimana mempertahankan ingatan "era kelam" masa lalu? Bagaimana peringatan bisa terus dikumandangkan, jika saksi sejarah terakhir telah meninggal dunia? Bagaimana merawat tanggung jawab sejarah setelah seremoni dan pidato kenegaraan pada upacara peringatan usai?
Menurut laporan Jewish Claims Conference, di seluruh dunia kini masih hidup sebanyak 245.000 korban langsung Holocaust, 14.200 orang di antaranya bermukim di Jerman. Sebagian besar sudah lanjut usia dan tidak lagi bisa tampil di muka umum.
Tapi kendati usianya yang sudah menginjak 101 tahun, Margot Friedländer masih berusaha tampil di depan publik. Setiap penampilan korban Holocaust biasanya menciptakan momen emosional - tentang semangat hidup mereka, kesaksian dan peringatan mereka.
Christoph Heubner, Wakil Presiden Komite Internasional Auschwitz, sering menghadiri penampilan para penyintas Holocaust di sekolah-sekolah atau upacara peringatan. Menurutnya, "ada bagian dalam kehidupan mereka yang kita tidak bisa masuki, di mana mereka sepenuhnya seorang diri. Yakni, perasaan ditinggalkan segenap anggota keluarga, saudara, orang tua. Dengan berbagi kepedihan itu mereka bersikap sangat murah hati dengan manusia yang hidup saat ini."
Peringatan demi melindungi demokrasi
Heubner ikut merasakan "duka mendalam bahwa sudah banyak korban Holocaust yang kini telah tiada." Terutama sejak beberapa tahun belakangan, keberadaan mereka menjadi sangat penting bagi kaum muda untuk bisa berbicara langsung dengan para saksi sejarah. "Juga sebagai peringatan dan panduan untuk terus melindungi dan merawat demokrasi," kata dia.
Menurut Wakil Presiden Komite Internasional Auschwitz itu, setiap generasi harus berkonfrontasi dengan kekejaman masa lalu dan mengalami sendiri "reaksi intelektual dan emosional dalam artian positif." Konfrontasi itu bisa muncul dalam beragam bentuk, entah itu sebuah film, pembacaan buku atau kunjungan ke kamp konsentrasi. "Setiap generasi akan menemukan jalannya sendirti untuk memahami penggalan sejarah peradaban tersebut," tuturnya.
Hal serupa juga dijalani para murid dari Kerpen, Köln, pekan ini di Oświęcim. Kunjungan ke barak-barak penampungan, di mana rambut manusia atau rangka kaca mata ditumpuk sebagai saksi bisu sebuah kebiadaban. Elias, 18, mengatakan, Ausschwitz bukan sebuah museum. Museum, kata dia, "adalah tempat bagi mata untuk melihat. Pengunjung datang, berkeliling dan melihat-lihat." Ausschwitz sebaliknya membawa pengunjung ke masa lalu "Kita mengembangkan pemahaman yang lebih dalam."
Menurutnya, mengunjungi langsung kamp konsentrasi membantu para murid "untuk memahami pelajaran yang sangat sulit ini."
Hal serupa diungkapkan murid lain, Tamara, 18, yang menilai kunjungan ke Ausschwitz "sangat penting" bagi para murid, untuk mengalami "sesuatu yang sama sekali berbeda," ketimbang pelajaran sejarah di dalam kelas.
Kurikulum Jerman tidak mewajibkan para murid sekolah untuk mengunjungi kamp konsentrasi. Desakan untuk mengintegrasikan kunjungan ke lokasi sejarah pembantaian Yahudi pernah dirumuskan oleh Konferensi Menteri Kebudayaan (KMK) pada 2014 silam. Namun hingga kini, kewajiban tersebut tidak diterapkan di semua negara bagian.
Bisa dipastikan, para murid akan pulang dengan kesan yang kuat tentang kamp konsentrasi Ausschwitz dan sejarah holocaust. Bagi guru sekolah, Kazrin Kuznik, sangat penting "bahwa orang tua bisa melihat betapa pentingnya perjalanan ini, seperti juga para murid." Menurutnya, perkembangan politik dewasa ini justru membuktikan, "bahwa kunjungan ke kamp konsentrasi menjadi lebih penting dibandingkan beberapa tahun lalu."
rzn/as/hp
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!