Langkah Kota untuk Hadapi Iklim Panas
28 Juli 2018Regina Fleischmann dan Anna Düssel mengetuk tiap pintu rumah di kawasan pusat kota Bonn. Keduanya termasuk kelompok peneliti yang bekerja di Universitas PBB di Bonn yang mendatangi rumah-rumah penduduk untuk meneliti masalah dampak suhu panas.
Mereka dipimpin peneliti Matthias Garschagen, kepala Institut Lingkungan dan Keamanan Manusia di Universitas PBB di Bonn. Para peneliti menyelidiki konisi hidup masyarakat dan persepsi mereka tentang panas ekstrem. Mereka bermaksud mencari jawaban dari 800 penduduk untuk mengungkap apa yang harus dilakukan komunitas untuk beradaptasi dengan suhu panas.
Negara-negara bersuhu lebih dingin tidak imun
Walaupun suhu panas yang ekstrem tidak menjadi fenomena yang biasa diasosiasikan dengan negara-negara Eropa Utara seperti Jerman, yang suhunya bisa sangat rendah di musim dingin, kawasan itu juga terkena dampak meningkatnya suhu bumi.
Tahun 2003, sekitar 7.000 orang meninggal di Jerman akibat gelombang panas yang menyapu Eropa dan menyebabkan meninggalnya sekitar 70.000 orang.
Walaupun beberapa hari di mana suhu udaranya tinggi tidak tampak berbahaya, bagi orang-orang yang dalam kondisi rentan, misalnya orang-orang berusia lanjut, orang sakit, orang miskin, perempuan hamil dan anak balita, itu bisa fatal.
Salah satu risiko selama berlangsungnya gelombang panas, adalah, banyak orang tidak sepenuhnya mengerti bahaya suhu tinggi, demikian dikatakan Garschagen kepada DW.
Ia mengatakan, memang orang tahu bahwa suhu tinggi harus ditanggapi dengan serius, tapi di lain pihak, jika dikemukakan bahwa ekspektansi suhu tinggi seharusnya mengubah tingkah laku orang, tanggapan masyarakat tidak positif.
Kota-kota memerangi 'efek pulau panas'
Gelombang panas terutama jadi tren serius di kota-kota, yang suhunya meningkat lebih cepat daripada di tempat lain. Ini diakibatkan apa yang disebut "efek pulau panas." Karena kawasan perkotaan biasanya ditutupi aspas dan beton, kawasan ini tidak bisa menyimpan air seperti tanah biasa dan tanaman, demikian Garschagen.
Menurut studi C40, yaitu organisasi yang berfokus pada kawasan perkotaan, diperkirakan tahun 2050, lebih dari 970 kota akan menghadapi suhu panas rata-rata hingga 35°. Saat ini, hanya sepertiga kota-kota tersebut merasakan suhu tinggi tersebut.
Saat PBB memprediksi bahwa lebih dari dua pertiga populasi dunia akan tinggi di perkotaan tahun 2050 mendatang, jumlah orang yang terkena imbas panas ekstrem akan meningkat secara dramatis. Sekitar 90% perpindahan ke perkotaan akan terjadi di Asia dan Afrika.
Bagaimana beradaptasi dengan gelombang panas?
Agar bisa beradaptasi dengan perubahan cuaca yang drastis, banyak kota memerlukan perencanaan kawasan perkotaan yang ekstensif. Garschagen mengatakan, ini bisa mencakup perubahan materi yang digunakan dalam pembangunan, juga menambah lebih banyak pohon, menyediakan lahan untuk taman di perkotaan, dan membuat koridor udara segar.
Tapi ia juga memperingatkan, bahwa melaksanakan perubahan ini bukanlah tugas mudah. Ia mengungkap, perencanaan kawasan perkotaan adalah solusi teknis yang bisa dilaksanakan, tetapi masalah utama adalah bernegosiasi dengan warga kota agar mau menerima perubahan. Demikian Garschangen.
Sejumlah penelitian bisa jadi petunjuk, bahwa di sejumlah bagian dunia, yaitu di Asia Selatan, Teluk Persia dan Australia misalnya bisa jadi tidak bisa dihuni akibat suhu yang kian bertambah.
Setelah para peneliti dari Universitas PBB mengumpulkan semua data yang mereka butuhkan, mereka akan merumuskan tren, sejauh mana masyarakat kawasan perkotaan memahami dan bereaksi terhadap suhu tinggi yang ekstrim. Mereka berharap bisa mempersiapkan orang dengan lebih baik untuk masa depan yang mungkin lebih panas.
Penulis: Charli Shield (ml/ap)