Mengapa Mereka Memilih Menjadi Ateis?
Kita mengenal kebebasan untuk menjalankan agama dan kepercayaan. Negara berkewajiban melindungi pemeluknya. Bagaimana dengan warga negara Indonesia yang tidak memilih suatu agama atau tidak percaya Tuhan itu ada?
Daniel Yuwono: Tuhan itu antara ada dan tiada
Kuliah Teologi justru membuat Daniel Yuwono mempertanyakan tentang Tuhan.“Tuhan itu antara ada dan tiada. Saya tidak tahu Tuhan itu ada atau tidak. Kalau Tuhan itu bisa dibuktikan sebenarnya malah menunjukkan Ia tidak mahakuasa. Namun karena Tuhan itu tidak bisa dibuktikan maka wajar orang percaya Tuhan itu ada. Daniel mengaku masih mengikuti agama sebagai ritual karena tradisi.
Bayu Anggora: Bagimu Tuhanmu, bagiku tidak perlu
Bayu Anggora berusia 28 tahun. Ia mengaku sejak masa sekolah sudah mulai berpikir kritis tapi belum menemukan tempat memadai untuk diskusi. Masa kuliah semakin banyak membaca, diskusi hingga akhirnya menyadari tidak butuh Tuhan. Bayu merasa tidak sendiri karena banyak juga yang sudah muak dengan kemunafikan.
Niluh Devi: Aku percaya Tuhan ada, cuma tidak percaya agama
Berbeda dengan Daniel Yuwono, sebelum beranjak ke usia 20, tahun, Niluh Devi mulai mempertanyakan soal agama. “Aku percaya Tuhan itu ada, cuma tidak percaya agama. Semua agama yang saya pelajari tidak ada yang sempurna. Jadi sama saja, beragama atau tidak beragama. Orang beragama itu karena warisan budaya, warisan orangtua yang harus dilestarikan.”
Kelvyn Antonio: Agama hanya untuk kepentingan penguasa
Sejak umur 30 tahun, Kelvyn Antonio menjadi ateis. Sebelumnya ia agnostik selama 17 tahun. “Agama hanya untuk kepentingan penguasa, jadi saya tidak terlalu percaya agama. Saya juga tidak percaya dengan mereka yang mengaku ateis di Indonesia karena kebanyakan bunglon.”
Dede Sumi: Keluar dari tembok agama yang penuh aturan
Perempuan Jawa ini berpandangan: “Kita berada di sebuah ruang tertutup dan selalu dengar ceramah tentang matahari. Kenapa kita tidak keluar saja dari tembok itu dan berjalan merasakan hangatnya matahari sendiri? Manusia menciptakan agama sehingga tuhan tersebut akan mati tanpa manusia yang memercayainya. Berbeda dengan Gusti Alam, manusia akan punah tanpa eksistensi alam semesta.”
Karl Karnadi: Saya mendapat kepuasan hidup dari mempertanyakan daripada mengimani
Karl Karnadi berusia di atas kepala tiga. Saat berusia 21 tahun ia mulai mempertanyakan tentang Tuhan dan agama. “Saya mendapat kepuasan hidup dari mempertanyakan daripada mengimani Tuhan. Saya tidak memusuhi agama karena agama bisa membawa pengaruh positif bagi kehidupan seseorang dan selama tidak mengajarkan permusuhan.
Stefen Jhon: Tuhan adalah hasil kemalasan intelektual kita
Stefen Jhon berusia di atas 40 tahun ketika mulai mempertanyakan Tuhan sejak konflik Ambon tahun 1999 dan jadi ateis sejak 2005. “Tuhan itu konsep, hasil kemalasan intelektual kita. Tuhan adalah sosok imajinasi yang disakralkan dalam agama sebagai penanggung jawab atas semua kejadian luar biasa di kehidupan ini. Kehidupan saya lebih bermoral daripada orang lain yang pemabuk, tukang pukul istri.”