Asia Meniru Sensor ala Cina
12 Februari 2014Dalam pidato sesaat setelah penunjukkan dirinya sebagai sekretaris jenderal Partai Komunis Cina PKC, November 2012, Xi Jinping secara langsung menyampaikan pesan kepada para wartawan: “Kawan-kawan pers, Cina perlu belajar lebih banyak tentang dunia, dan dunia juga perlu belajar lebih banyak tentang Cina. Saya harap Anda akan terus berusaha lebih dan berkontribusi memperdalam saling pengertian diantara Cina dan negara-negara di dunia.“
Celaka bagi para wartawan yang mengira bahwa yang Xi maksud saat itu adalah ”Gambarkan kenyataan Cina secara telanjang”, karena sebetulnya yang dimaksud ketika itu adalah ”Ikuti propaganda partai secara harafiah!” Sejak pidato itu, pemerintah Cina telah menangkap lebih banyak wartawan dan blogger, bersikap lebih keras terhadap para pembangkang di internet, memberlakukan kontrol isi online dan menyensor serta meningkatkan pembatasan atas media asing.
Luo Changping, wartawan yang dipaksa meninggalkan majalah Caijing November lalu, Liu Hu, seorang reporter ditangkap karena tuduhan menyebarkan “informasi palsu”, dan harian New York Times termasuk diantara wartawan dan media massa yang baru-baru ini dijatuhi hukuman karena laporan penyelidikan yang mereka lakukan. Para aktivis hak asasi manusia dan blogger pembangkan seperti Xu Zhiyong dan Yang Meodong, dipenjara atas tuduhan palsu, adalah deretan nama yang harus membayar mahal karena menampilkan Cina secara ”telanjang”.
“Pemberian arahan harian” kepada media tradisional dari Departemen Propaganda. Sensor internet secara terus menerus, bertambahnya jumlah keputusan pengadilan untuk menahan dan menangkap banyak wartawan dan para pengguna internet (termasuk penerima Nobel Perdamaian 2010 Liu Xiaobo) telah membuat Cina menjadi model bentuk represi dan sensor di dunia. Adopsi atas model represi itu sayangnya kini semakin meluas di kawasan Asia.
Vietnam mengambil langkah melakukan kontrol atas informasi ke titik yang dekat dengan saudara tua Cina. Para penyedia informasi independen menjadi subyek pengawasan internet, pemberlakuan aturan yang kejam, gelombang penangkapan dan pengadilan sesat. Vietnam kini menjadi Negara terbanyak ke-dua dunia yang memenjarakan para blogger dan pengguna internet. Dari 34 blogger yang saat ini ditahan, 25 ditangkap sejak Nguyen Phu Trong menjadi sekretaris jenderal partai 2011.
Partai memberlakukan sensor ke sebuah level baru pada September tahun lalu, ketika mengeluarkan Dekrit 72 yang melarang penggunaan blog dan jejaring sosial untuk berbagi informasi tentang perkembangan berita. Itu menunjukkan bahwa partai sedang melancarkan perang habis-habisan melawan generasi baru internet, yang dilihat sebagai sumber informasi alternatif yang berbahaya bagi media tradisional yang telah mereka jinakkan.
Sensor di negara demokrasi
Laporan Reporter Tanpa Batas atau Reporters Without Borders menyimpulkan: tahun lalu menunjukkan bahwa beberapa pemerintahan di wilayah Asia-Pasifik, bahkan yang demokratis pun, bisa menjadi sangat sensitif terhadap kritik. Ini terlihat dari banyak proses hukum, yang seringkali mengeluarkan vonis tidak proporsional, yang dilakukan terhadap para wartawan yang berada di bawah tekanan badan pemerintah atau pejabat.
Pemerintah Thailand menggunakan pasal lèse-majesté atau penghinaan terhadap negara sebagai senjata efektif untuk mengintimidasi atau membungkam para pembangkang. Chiranuch Premchaiporn, editor koran online Prachatai, divonis bersalah atas “komentar kritisnya terhadap kerajaan“ dan hukuman 11 tahun penjara dijatuhkan kepada Somyot Prueksakasemsuk, editor Voice of Thaksin, adalah contoh yang perlu dicatat. Vonis ini memberikan efek jera kepada media massa di seluruh Thailand.
Di Korea Selatan, wartawan independen Kim Ou-joon dan Choo Chin-woo dituduh menyiarkan ”informasi palsu” dan ”penghinaan konten” tentang saudara laki-laki Presiden Park Geun-hye dan ayahnya lewat podcast satir “Naneun Ggomsuda.” Di Tonga dan Papua Nugini, empat wartawan didenda atau diberi sanksi karena “mengkritik“ perdana menteri masing-masing.
Demokrasi Asia juga mempunyai “wilayah terlarang” di mana pemberitaan tunduk kepada sensor. Di Negara bagian India, Kashmir serta wilayah Indonesia yakni provinsi Papua, kerja jurnalistik dihalangi oleh kebijakan kontrol berita yang kejam.
ab/vlz (dpa,afp,ap)