ASEAN Perkuat Kerjasama Ekonomi Guna Hadapi Perang Dagang
24 Juni 2019Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang digelar selama dua hari Bangkok, Thailand, para pemimpin negara-negara setuju untuk memperkuat posisi dan kerja sama mereka dalam menghadapi eskalasi tensi antara AS dan Cina.
Kesepuluh anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa di Asia Tenggara (ASEAN) ini ingin memiliki kekuatan ekonomi kolektif sebagai daya tawar global menghadapi perang dagang, ujar Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha dalam konferensi pers, Minggu (23/06).
Prayuth mendesak ASEAN untuk menyelesaikan agar bisa menyelesaikan Kemitraan Ekonomi Komprehensif di wilayah regional (RCEP) dengan Cina tahun ini juga. Kerja sama ini melibatkan sebanyak 16 negara namun tertunda karena adanya perselisihan antara Cina dan India terkait akses ke pasar dan daftar barang yang dilindungi.
"Jika kita bisa melakukan ini, kita akan memiliki daya tawar dan dasar untuk negosiasi. Karena ketika digabungkan, kita ada 650 juta orang, blok regional terbesar di dunia," ujar Prayuth.
Pertama diusulkan oleh Cina, kerja sama ini meliputi sepuluh negara ASEAN dan enam negara Asia-Pasifik, termasuk ekonomi utama Cina, India, Jepang dan Korea Selatan. Ini adalah perjanjian tentang penciptaan zona perdagangan bebas yang mencakup 45% wilayah populasi dunia, tanpa melibatkan AS.
Sementara Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long mengatakan ASEAN akan "menerima dampak" dari perang dagang antara Cina dan AS. Ia kemudian menyebutkan pertumbuhan ekonomi Singapura yang sudah memperlihatkan perlambatan.
Senada dengan Lee, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengatakan bahwa konflik perdagangan antara Washington dan Beijing telah "menciptakan ketidakpastian. Ini mengorbankan pertumbuhan global dan dapat menghambat proses integrasi ekonomi yang sedang berlangsung. "
"AS dan Cina harus mengambil jalan besar dan menyelesaikan perbedaan sebelum situasi berputar di luar kendali," lanjut Duterte.
Masalah Laut Cina Selatan
Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan pada Minggu waktu setempat, ASEAN juga menyerukan untuk menurunkan ketegangan di Laut Cina Selatan.
Area laut ini termasuk salah satu yang paling sibuk di dunia dan kawasan yang penting di wilayah regional mengingat sejumlah negara ASEAN seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Indonesia memiliki wilayah kedaulatan di sana. Tidak hanya itu, area ini juga diklaim oleh Cina dan Taiwan.
"Kami menekankan pentingnya aksi nonmiliter dan menahan diri dalam melakukan semua kegiatan oleh penggugat dan semua negara lain ... ini dapat memicu kerumitan lebih lanjut dan meningkatkan ketegangan di Laut Cina Selatan," ungkap pernyataan tersebut tanpa menyebut nama Cina namun merujuk pada aktivitas militer di pulau-pulau di wilayah laut itu.
Bahas Rohingya tanpa menyudutkan Myanmar
Dalam pernyataan tersebut juga disebutkan bahwa ASEAN mendukung proses pemulangan Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar, tetapi menyerukan anggotanya untuk berhenti menyalahkan Myanmar.
Kelompok-kelompok hak asasi menyerukan ASEAN untuk memikirkan kembali dukungan terhadap rencana untuk memulangkan Muslim Rohingya kembali ke Myanmar, di mana mereka menghadapi diskriminasi dan penganiayaan.
"(Kami) menyatakan dukungan berkelanjutan kami terhadap komitmen Myanmar dalam ... memfasilitasi pengembalian sukarela para pengungsi secara aman dan bermartabat," ujar pernyataan itu tanpa menyebutkan nama Rohingya.
ASEAN juga berharap pemerintah Myanmar melalui komisi yang mereka buat dapat mencari akuntabilitas melalui "investigasi yang independen dan tidak memihak terhadap dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan masalah terkait."
Dalam pertemuan itu, Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) juga mengatakan pandangannya terkait isu Rakhine-State.
"Saya ingin bicara sebagai satu keluarga, berterus terang, untuk kebaikan kita semua,” kata Jokowi. Ia pun berharap komite tingkat tinggi dapat membuat rencana aksi terkait rencana pemulangan kembali dalam kerangka waktu yang jelas. "Kita semua prihatin terhadap situasi keamanan di Rakhine State yang belum membaik,” ujar Presiden.
Indonesia pun berharap pemerintah dan otoritas Myanmar dapat terus secara maksimal mengupayakan pemulihan keamanan. Tanpa jaminan keamanan, tidak akan mungkin terjadi repatriasi.
ae/ts (Reuters, Biro Pers Sekretariat Presiden)