ASEAN Desak Junta Myanmar Tunjukkan Upaya Akhiri Kekerasan
28 Oktober 2022Serangkaian kekerasan baru-baru ini di Myanmar, termasuk serangan udara militer pada hari Minggu (23/10) yang dilaporkan menewaskan sebanyak 80 anggota etnis minoritas Kachin, serta eksekusi aktivis pro-demokrasi bulan Juli lalu mencemaskan para menteri luar negeri ASEAN yang bersidang di Jakarta, hari Kamis (27/10).
Pada pertemuan khusus tentang Myanmar itu, para menteri luar negeri ASEAN mengatakan upaya mereka belum mencapai kemajuan yang signifikan. Mereka menyerukan "tindakan konkret, praktis, dan terikat waktu” untuk memperkuat pelaksanaan konsensus lima poin yang dicapai kelompok tersebut pada April tahun lalu tentang agenda perdamaian.
ASEAN telah mencoba memainkan peran perdamaian sejak militer melakukan kudeta di negara itu dan menggulingkan pemerintahan terpilih di bawah pimpinan Aung San Suu Kyi. Konsensus lima poin yang dicapai April lalu antara Presiden Indonesia Joko Widodo dan pimpinan junta militer Myanmar, Jenderal Min Aung Hlaing, ketika itu antara lain menyerukan penghentian segera kekerasan, dialog di antara pihak-pihak terkait, mediasi oleh utusan khusus ASEAN, pemberian bantuan kemanusiaan, dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus untuk bertemu semua pihak terkait.
Sepakati agenda perdamaian Jakarta, tapi tidak ada tindakan konkret
Pemerintah Myanmar pada awalnya menyetujui konsensus tersebut, tetapi tidak banyak melakukan upaya untuk mengimplementasikannya, selain mencari bantuan kemanusiaan dan mengizinkan utusan ASEAN, Menteri Luar Negeri Kamboja Prak Sokhonn, untuk berkunjung. Namun, junta militer menolak untuk mengizinkannya bertemu dengan Aung San Suu Kyi, yang mendekam di penjara atas berbagai tuduhan.
Sebagai tanggapan, ASEAN tidak mengizinkan para pemimpin Myanmar untuk berpartisipasi dalam pertemuan resminya, termasuk pertemuan para menteri luar negeri di Jakarta hari Kamis (27/10). "Pertemuan ini sepakat bahwa ASEAN tidak boleh berkecil hati, tetapi bahkan lebih bertekad untuk membantu Myanmar mewujudkan solusi damai secepat mungkin,” kata utusan khusus ASEAN untuk Myanmar Prak Sokhonn, dalam sebuah pernyataan.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan, para menteri menyatakan keprihatinan dan kekecewaan mereka, dan dalam beberapa kasus frustrasi, dengan kurangnya kemajuan yang signifikan dalam pelaksanaan konsensus. "Alih-alih berkembang, situasinya bahkan dikatakan memburuk dan memburuk,” katanya.
"'Tindakan kekerasan sekali lagi harus segera dihentikan,'' kata Retno Marsudi. "Tanpa penghentian kekerasan, tidak akan ada kondisi yang kondusif untuk penyelesaian krisis politik ini.”
Makin banyak pengungsi lari ke negara tetangga
Pertemuan tingkat menlu itu dilakukan menjelang KTT tahunan ASEAN pada 11-13 November, di mana fokus utama para pemimpin adalah krisis di Myanmar, yang telah mengancam persatuan kelompok itu. Anggota ASEAN secara tradisional menghindari kritik satu sama lain, dan kekerasan yang dilakukan oleh militer Myanmar secara luas dilihat sebagai pengungkapan ketidakberdayaan kelompok tersebut dalam menangani keadaan darurat geopolitik dan kemanusiaan yang dapat mempengaruhi mereka semua.
Sementara itu, semakin banyak pengungsi yang melarikan diri dari Myanmar dan mencari suaka di seluruh wilayah. Kelompok Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di AS mengatakan sekitar 70.000 orang telah melarikan diri ke negara-negara tetangga sejak militer mengambil alih kekuasaan. HRW mendesak para pemimpin Asia Tenggara untuk memastikan pemerintah mereka tidak memaksa orang kembali ke Myanmar.
Pihak berwenang Malaysia dilaporkan telah mempercepat deportasi pengungsi ke Myanmar dan sudah memulangkan lebih dari 2.000 orang sejak April lalu. Sedangkan pihak berwenang Thailand telah mendorong pencari suaka untuk kembali melintasi perbatasan Myanmar tanpa memverifikasi kebutuhan perlindungan mereka, kata HRW.
hp/ha (Reuters, AP, AFP)