Freiheit in Angst
Aqeel Ibrahim Lazim mendengar berita mengenai serangan teror 11 September di tengah-tengah persiapan pernikahannya. Dokter gigi yang waktu itu baru lulus kuliah sedang membicarakan acara pesta kawinan dengan tunangannya, ketika ia sekilas melihat gambar dramatis di televisi, yang terletak di pojokan ruang tamunya
Menara yang terbakar, ratusan orang yang tewas. Gambar-gambar mengerikan dan di saat bersamaan terlihat aneh, seperti ilusi, dari sebuah negara jauh, yang belum pernah dikunjungi oleh Aqeel dan dalam propaganda resmi pemerintah Irak, negara ini selalu digambarkan sebagai "kekuatan jahat".
Perlahan-lahan Aqeel baru sadar, ini bukanlah film laga, yang belum lama ini diperbolehkan di televisi pemerintah. Adegan-adegan yang Aqeel lihat benar-benar terjadi.
"Saya kira dunia kiamat"
"Sulit menjelaskan, apa yang saya rasakan saat itu", cerita Aqeel sepuluh tahun setelah peristiwa itu. "Saya terkejut, kasihan dan shock di saat bersamaan. Saya kira dunia kiamat, seluruh peradaban manusia hancur."
Saat itu, lelaki yang kini berusia 35 tahun ini belum memperkirakan, bahwa serangan teror di Amerika bukan saja akan mempengaruhi pesta pernikahannya, melainkan juga akan menyebabkan kembali dimulainya perang di Irak serta jatuhnya rezim Saddam Hussein.
Aqeel marah tetapi juga merasa tidak aman. "Serangan ini menewaskan korban sipil. Dan orang yang iba dengan korbannya tidak akan bertanya, korbannya asal mana atau dari negara mana," demikian cerita lelaki Irak ini. "Sebagai manusia, saya sedih sekali untuk para korban. Tetapi perasaan kasihannya aneh sekali, karena para pelakunya kan secara terang-terangan mengaku orang Muslim."
Apakah rezim Saddam pada malam tersebut sudah bisa memperkirakan pengaruh serangan teror Al Qaida terhadap Irak? Yang jelas, pada malam menjelang tanggal 12 September, Aqeel bisa merasakan, bahwa penguasa-penguasa Irak menjadi gelisah. Di jalan-jalan tiba-tiba bermunculan banyak pasukan keamanan dan anggota-anggota bersenjata dari Partai Baath yang waktu itu berkuasa. "Seperti ibaratnya Irak sendiri juga bisa jadi sasaran serangan teror seperti itu," kata Aqeel.
Dalam pesta pernikahan Aqeel, tidak ada tema pembicaraan lain, selain serangan 11 September. "Saya justru mendapat lebih banyak berita baru terkait serangan di Amerika, daripada mendapat ucapan selamat dari para tamu," kenang Aqeel, yang sekarang bekerja sebagai dosen di fakultas kedokteran gigi Universitas Basra dan juga membukan praktekdokter gigi.
Rezim Saddam dulu langsung membuat pawai untuk mengelu-elukan Saddam Hussein. Banyak warga dipaksa ikut serta, cerita Aqeel. Seperti kebanyakan warga Syiah, Aqeel memang memandang kritis rezim Saddam Hussein yang beraliran Suni.
Konflik Meletus
Tidak lama kemudian menjadi semakin jelas, bahwa setelah serangan 11 September, bahaya perang kembali mengancam Irak. Saddam Hussein dituduh memiliki senjata pemusnah massal oleh pemerintah Amerika Serikat. Rezim Saddam juga dituduh memiliki hubungan langsung dengan Al Qaida.
Memang kedua tuduhan ini terbukti salah, tetapi bagi warga Irak, kedua hal ini merupakan pertanda jelas, bahwa sebuah konflik semakin mendekat, ingat Aqeel.
Ia tidak bisa melupakan sebuah pidato terkenal dari mantan Presiden AS George W. Bush. "Bush mengatakan kepada semua penguasa di dunia: 'Pilihannya adalah, kalian mendukung kami, atau menentang kami'. Tetapi rezim Saddam memandang Amerika sebagai musuh, karena mereka menjawab invasi Irak di Kuwait dengan sebuah perang."
Perang Irak ke-dua dimulai satu setengah tahun setelah serangan 11 September, pada tanggal 19 Maret 2003. Aqeel mengingat masa-masa itu dengan perasaan yang terbelah dua. "Banyak warga Irak di lingkungan saya menentang invasi ke negara kami," katanya, "Tetapi di saat bersamaan, kami semua berharap Saddam Hussein jatuh".
Saddam Hussein berhasil digulingkan 22 hari setelah perang dimulai dan banyak warga Irak menyambut hal ini dengan gembira. "Akhirnya kami bebas dari rezim ini," ujar Aqeel. "Tetapi sedih melihat kota-kota kami diduduki pasukan AS."
Jatuhnya Saddam Hussen membawa kebebasan yang tidak pernah dikenal Aqeel dan rakyat Irak lainnya. "Luar biasa! Tiba-tiba kami bisa mengungkapkan pendapat dengan bebas." Hal ini juga membawa hal positif bagi karir Aqeel. Ia bisa membuka praktek sendiri - suatu hal yang tidak bisa dibayangkan di bawah rezim Saddam Hussein.
Tenggelam dalam Kekacauan
Tetapi kebebasan ini mempunyai harga tinggi dan ternyata harus dibayar dengan darah. Selam bertahun-tahun Irak tenggelam dalam kekacauan, kekerasan dan teror. Warga Suni dan Syiah saling membunuh, tidak ada lagi yang aman dari serangan dan penculikan.
"Ini bukan bentuk kebebasan yang kami harapkan," ujar Aqeel. "Ini merupakan kebebasan yang tidak punya batas apapun." Puluhan ribu warga Irak tewas. Memang sekarang situasinya sudah membaik, tetapi hampir tidak ada sebuah keluarga Irak yang sanak saudaranya tidak menjadi korban.
Aqeel sendiri dalam tahun-tahun teror ini kehilangan sepupunya, Mohammed, yang ditahun 2006 diculik oleh orang-orang tak dikenal. Dulu keluarganya mencari Mohammed di seluruh penjuru Irak: di rumah sakit, di pos-pos polisi, di rumah mayat.
Bagi Aqeel dan keluarganya ini adalah saat-saat yang sangat berati. "Saya melihat banyak ruangan yang dipenuhi mayat. Saya shock dan bertanya kepada diri sendiri: Kenapa orang-orang ini dibunuh?" demikian ingat Aqeel. Di mana-mana baunya seperti di rumah mayat. "Pemerintah tidak mampu membeli alat pendingin tambahan," kata Aqeel. Sepupunya akhirnya dinyatakan meninggal, walaupun mayatnya tidak pernah ditemukan.
Kalau Aqeel melihat gambar-gambar serangan 11 September, ia selalu berpikir, bagaimana serangan teror juga bisa mentraumatisir orang-orang yang masih hidup. Di Irak banyak anak-anak dilahirkan di lingkungan yang penuh dengan suasana perang, kekerasan dan teror.
"Mereka mengalami semua ini secara langsung dan selalu membawa ketakutan dalam hidupnya. Ketakutan diculik, ketakutan dibunuh, ketakutan bom mobil dengan banyak korban." Sampai sekarang, agar lebih aman, Aqeel selalu mengantar kedua anaknya, Mohammed dan Sarah, ke sekolah.
Munaf al Saidy / Anggatira Gollmer
Editor: Yuniman Farid