Apakah Jerman Makin Terbuka Terhadap Imigran?
16 Oktober 2012"Jadi, bagaimana caranya hingga anda bisa berbicara Bahasa Jerman dengan sangat baik?" - Sebuah pertanyaan yang selalu didengar oleh jurnalis dan pembawa acara televisi Elif Senel, meski ia lahir di Jerman.
"Namun," ujarnya, "Saya melihat ada perbedaan antar generasi: Hanya generasi tua yang melontarkan pertanyaan seperti itu, karena bagi generasi muda Jerman cukup lumrah dimana seorang warga Jerman memiliki nama non-Jerman."
Orangtua Senel pindah ke Jerman dari wilayah Anatolia di Turki pada tahun 70-an, dan ayahnya merupakan salah seorang dari 'pekerja tamu' yang direkrut untuk kerja kasar pada awal 50-an.
Setelah reunifikasi Jerman, banyak anggota kelompok minoritas Jerman yang tinggal di luar negeri mencari repatriasi di Jerman. Dan pada dekade pertama abad ke-21, banyak imigran berketerampilan tinggi masuk Jerman: tahun 2009, 21 persen pendatang memiliki keterampilan tinggi dan pekerjaan, menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Institut Riset Ekonomi di Köln.
"Sejak jumlah orang dengan kualifikasi tinggi yang datang ke Jerman bertambah, gambaran mengenai imigran terdidik mulai membayangi gambaran tenaga kerja tidak terlatih," jelas ahli imigrasi Klaus Bade, yang mengepalai Dewan Ahli Yayasan Jerman untuk Integrasi dan Migrasi (SVR).
Gambaran positif dengan sejumlah pengecualian
"Secara umum, gambaran imigran telah berubah menjadi lebih baik - dengan pengecualian bagi sejumlah kelompok," tukas Klaus Bade yang mengangkat daftar panjang berisi kelompok migran yang dianggap bermasalah. "Pada tahun 50-an para imigran Italia yang mengejar-ngejar perempuan Jerman, dan pada tahun 80-an serta 90-an, muncul ide kaum kriminal dari Eropa Timur dan masa kini terutama komunitas Roma, yakni kaum gipsi dari negara-negara non Uni Eropa seperti Rumania dan Bulgaria yang datang ke Jerman."
Bade menambahkan penolakan publik terhadap warga minoritas Roma berujung pada "gambaran yang menyimpang terhadap orang Rumania dan Bulgaria," meski faktanya banyak individu dengan kualifikasi mencukupi ingin pindah ke Jerman dari kedua negara tersebut.
Kaum Muslim menjadi pengecualian kedua, kembali Bade mengkritik. "Publikasi seperti buku 'Deutschland schafft sich ab' (Jerman Menghancurkan Dirinya Sendiri) karya Thilo Sarrazin memicu pergolakan anti-Islam dengan mengklaim bahwa kaum Muslim itu berbahaya dan cenderung fundamentalis," tegasnya.
Elemen perdebatan mengenai buku kontroversial Sarrazin, yang mencemooh upaya integrasi sebagai kegagalan, tercermin dalam hasil Barometer Imigrasi, sebuah laporan tahunan keluaran SVR.
"Pada akhir tahun 2009 - sebelum muncul perdebatan - kebanyakan orang dengan ataupun tanpa akar di negara lain setuju bahwa orang Jerman dan kelompok-kelompok imigran dapat hidup berdampingan," ungkap Bade. "Setahun kemudian terlihat dengan jelas berkurangnya tingkat optimisme menyangkut integrasi dari kedua pihak."
Namun tren tersebut sekarang kembali berbalik - sebuah hasil yang menurut Bade menunjukkan betapa rentannya pandangan terhadap imigrasi dan integrasi.
Hasil riset juga menunjukkan bahwa orang Jerman dan warga imigran memiliki keyakinan yang sama terhadap topik imigrasi. 60 persen dari kedua kelompok setuju bahwa lebih banyak orang berkualifikasi tinggi harus pindah ke Jerman, dan 70 persen dari kedua kelompok ingin berbuat lebih banyak untuk mendorong integrasi yang sukses.
Tidak perlu bersembunyi
Warga Jerman dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam politik dan media kerap secara tajam membedakan orang-orang yang mereka pandang sebagai asli Jerman atau imigran atau berasal dari keluarga imigran. Dan itu menjadi masalah, menurut periset imigrasi Paul Mecheril.
"Untuk menciptakan budaya yang benar-benar terbuka terhadap imigran di Jerman, harus terlebih dahulu menerima kenyataan bahwa beragam orang dari berbagai latar belakang dan penampilan yang tinggal di Jerman," tandas sang profesor di Universitas Oldenburg yang menekankan bahwa terminologi Jerman untuk imigrasi pun terlalu terfokus pada keasingan.
Jurnalis Elif Senel telah melihat sejumlah perubahan menyangkut orang-orang dengan akar non-Jerman hanya dari menonton televisi Jerman. "Di seri televisi dan opera sabun, sering dijumpai dokter dari Iran, atau makelar real estate asal Turki - tanpa menampilkan sama sekali latar belakang orang-orang tersebut sebagai isu."
Secara keseluruhan, Senel yakin Jerman sudah banyak mengambil langkah signifikan menyangkut isu imigrasi dalam satu dekade terakhir dan gambaran terhadap pendatang telah jauh lebih baik.
"Itu juga berkat kenyataan dimana para imigran kini membawa diri dengan lebih percaya diri. Orangtua saya dan banyak pekerja tamu lainnya dulu selalu berusaha untuk tidak mencolok. Mereka sudah cukup bersyukur diperbolehkan tinggal di Jerman," ungkapnya. "Namun saat kerendahan hati dan rasa syukur itu berlebihan, otomatis anda sulit berkontribusi terhadap masyarakat ataupun membantu membentuk masyarakat secara aktif. Mereka yang membawa diri dengan penuh keyakinan lebih sering diganjar rasa hormat."
Dana Scherle/Carissa Paramita
Editor: Dyan Kostermans