Apakah Eropa Kembali Akan Dilanda Krisis Moneter?
28 Juni 2024Janji-janji pemilu yang diberikan oleh kubu sayap kanan dan sayap kiri di Prancis sangatlah sulit – dan mereka memiliki satu kesamaan: janji-janji tersebut sangat, sangat mahal. Tidak peduli apakah itu tentang kembali ke masa pensiun pada usia 60 tahun, kenaikan upah minimum, atau pembebasan pajak menyeluruh untuk orang di bawah 30 tahun. Hadiah pemilu yang dijanjikan mengancam kas negara Prancis yang kosong dengan belanja tambahan miliaran dolar. Dari mana sumber dana untuk hal ini? Baik kelompok sayap kanan maupun sayap kiri di Prancis tidak memberikan jawaban atas pertanyaan ini.
Bagi ekonom Friedrich Heinemann, hal ini mencerminkan "radikalisasi kebijakan ekonomi" yang dilakukan oleh partai-partai ekstrem di Prancis. "Ini adalah program-program ekonomi yang sama sekali tidak realistis. Program-program tersebut seluruhnya ditulis untuk Nirwana, namun tidak untuk perekonomian Prancis seperti sekarang ini," kata pakar keuangan publik di Pusat Penelitian Ekonomi Eropa Leibniz, ZEW, dalam wawancara dengan DW .
Perekonomian negara dengan ekonomi terbesar kedua di Uni Eropa (UE) ini sudah terpuruk, akibat tumpukan utang senilai sekitar 110 persen dari produk domestik bruto (PDB), dengan defisit anggaran sebesar 5,5 persen dari output perekonomian tahun lalu. Sesuai kriteria Perjanjian Maastricht, yang diperbolehkan hanya defisit 3 persen dan utang negara maksimal 60 persen dari PDB.
Situasi juga bisa menjadi lebih buruk lagi: Menurut perkiraan, hadiah pemilu dari kelompok sayap kiri dan kanan Perancis dapat membebani anggaran nasional Perancis dengan pengeluaran tambahan hingga 20 miliar euro per tahun. Menurut beberapa ahli, biayanya bahkan bisa lebih mahal lagi.
"Euro akan menderita"
Namun apa yang dilakukan UE jika pemerintahan sayap kanan atau kiri di Paris hanya mengambil risiko dan tidak peduli dengan kriteria Maastricht? "Tidak ada rencana alternatif untuk ini,” kata Lorenzo Codogno. Dia sebelumnya bekerja di Kementerian Keuangan Italia dan sekarang bekerja sebagai penasihat makroekonomi untuk investor institusi di London.
Hal yang lebih buruk terjadi di Italia jika menyangkut keuangan pemerintah. Defisit di sana mencapai 7,4 persen pada tahun 2023, dan utang nasional mencapai sekitar 140 persen dari PDB. Namun tidak seperti Emmanuel Macron di Perancis, pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni di Italia masih berada di bawah kendali.
Bahkan setelah pemilu baru di Prancis, ia melihat "tidak ada skenario di mana zona euro akan runtuh,” tegas Lorenzo Codogno, yang juga mengajar di London School of Economics (LSE). "Tetapi saya melihat sebuah skenario di mana semua institusi Eropa berakhir dalam situasi jalan buntu yang pada dasarnya tidak ada lagi yang berfungsi." Semuanya akan diblokir dan tidak akan ada lagi inisiatif politik.
"Hal ini bisa menjadi masalah dalam situasi, di mana terdapat perang dagang antara AS dan Cina dan situasi geopolitik global yang sangat tidak stabil dan ketika dua konflik terbuka terjadi di dekat perbatasan UE,” kata Codogno kepada DW. Hal ini juga akan berdampak pada nilai eksternal mata uang bersama Eropa, dan euro dapat berkembang menjadi mata uang lunak. "Mungkin adil untuk mengatakan bahwa euro akan menderita, tidak hanya asetnya tetapi juga mata uangnya,” kata pakar keuangan tersebut.
Tidak ada tindakan pencegahan terhadap kebijakan ekonomi populis
Persyaratan ketat kriteria Maastricht dilonggarkan selama krisis Corona dan sejak saat itu dibuat lebih fleksibel. Kerangka tata kelola ekonomi zona euro baru itu mulai berlaku pada 30 April 2024. Meskipun batasan defisit dan utang publik masih berlaku, kerangka baru ini memberikan keleluasaan bagi pemerintah nasional dalam menentukan cara dan kapan mereka mengelola keuangannya untuk mencapai keseimbangan.
"Prancis bisa menjadi negara pertama yang dengan sengaja mengabaikan kerangka fiskal baru,” kata Lorenzo Codogno mengungkapkan kekhawatirannya. Di masa lalu, pelanggaran peraturan defisit atau utang oleh masing-masing negara tidak diikuti dengan konsekuensi nyata apa pun dari Komisi Uni Eropa atau Bank Sentral Eropa, ECB.
"Inilah masalah yang semakin sering dilakukan oleh ECB dalam beberapa tahun terakhir – dengan mengatakan: Kami ada di sana untuk membantu,” tegas Friedrich Heinemann. Hal ini merupakan berkah dalam krisis akut seperti pandemi untuk membantu negara-negara yang terdampak. "Tetapi ECB tidak boleh menjadi otoritas yang menjaga pemerintahan euro tetap likuid dengan segala cara – bahkan jika masalah tersebut disebabkan oleh kebijakan ekonomi yang tidak rasional,” tegas pakar utang nasional tersebut. "Itu merupakan sinyal yang salah."
Friedrich Heinemann mengeluh bahwa Komisi Eropa sering kali terlalu lunak terhadap pelanggar defisit di masa lalu. Ia menganggap peran penting Komisi UE dalam mematuhi aturan utang menjadi kelemahan desain utama di zona euro. Sebagai pemerintah de facto Uni Eropa, Komisi Eropa tidak cocok untuk "menjadi penengah yang netral mengenai utang negara-negara anggota. Karena mereka selalu berada dalam situasi harus membuat kesepakatan dengan negara-negara anggota dan membuat kompromi."
Heinemann ingin Dewan Fiskal Eropa bisa lebih berperan dalam memantau peraturan utang. Dewan Fiskal misalnya bisa menilai, apakah Komisi UE mengevaluasi dengan benar situasi keuangan negara-negara anggota dan menerapkan pakta stabilitas dengan benar. Dia menyayangkan bahwa Dewan Fiskal tidak bisa berkata apa-apa secara politis. "Tetapi jika Komisi UE terus menjalankan perannya dengan cara yang terpolitisasi, lebih memilih untuk melakukan kompromi politik daripada mengambil tindakan keras, maka saya melihat prospek yang suram bagi perkembangan utang zona euro,” tegasnya.
(hp/as)