Apa Yang Terjadi Jika Assad Jatuh?
6 Juli 2011Warga muslim, Kristen, Alevi, Druze, Ismailiyah dan sebagainya. Tidak ada negara lainnya di Timur Tengah, kecuali Libanon, memiliki keragaman etnis seperti Suriah. Menurut konstitusi Suriah adalah negara sekuler, yang sejak beberapa puluh tahun lalu bersifat sosialis. Dalam 41 tahun terakhir rejim keluarga Assad tidak pernah mengikuti secara terbuka politik konvensional. Demikian dikatakan pakar timur tengah Volker Perthes dari yayasan ilmu pengetahuan dan politik di Berlin. Terutama kelompok minoritas Suriah khawatir akan hal itu.
Perthes mengatakan, "Jatuhnya rejim Assad mungkin akan mengakibatkan pertempuran berdarah dan berlangsung lama, kemungkinan dalam bentuk seperti perang saudara, di mana ketegangan antar agama semakin tinggi dan bobotnya besar. Mungkin akan terjadi bentrokan yang menimbulkan serangan berlatarbelakang balas dendam.“
Serangan Bermotiv Balas Dendam
Serangan berlatarbelakang dendam selama ini tidak nampak di negara-negara dengan satu agama, seperti Tunisia dan Mesir. Di Suriah itu bisa terjadi. Demikian dikatakan Perthes. Terutama terhadap kaum Alevi mungkin akan ada balas dendam, karena Assad termasuk kelompok itu. Selain itu, baik Bashar al Assad, maupun ayahnya Hafez al Assad sering menempatkan anggota kelompok Alevi untuk posisi penting dalam pemerintahan, milliter dan dinas rahasia.
Sejak awal demonstrasi, pemerintah di Damaskus mengatakan, itu adalah perlawanan bersenjata, yang harus ditekan. Rejim menyatakan kekuatan asing bertanggungjawab atas kerusuhan. Kaum Islamis, penganut Salafi, bahkan warga Libanon juga kadang dituduh. Perasaan takut warga akan ketegangan antar agama dimanfaatkan oleh pemerintah. Ini semakin menambah kemarahan demonstran.
Itu dikatakan pakar Suriah dan wartawan, Kristin Helberg. Menurut Helberg, mereka sering berusaha menunjukkan lewat slogan atau plakat, bahwa mereka ingin persatuan rakyat Suriah, dan mereka menentang ketegangan antar agama. Mereka juga katanya mendorong reformasi bersama kelompok-kelompok agama dan mendorong perubahan.
Mencegah Fundamentalisme
Sekitar 70% rakyat Suriah memeluk agama Islam Suni. Alevi, Druze, Ismailiyah jumlahnya sekitar 20%, dan 10% warga Suriah beragama Kristen. Ditambah dengan warga Kristen Irak, yang menjadi pengungsi di Suriah, karena di negaranya mereka diculik, ditekan dan dibunuh secara terarah. Banyak warga Kristen di Suriah khawatir, jika keluarga Assad jatuh mereka juga harus mengungsi.
Baik Hafez maupun putranya, Bashar al Assad telah berusaha menekan aliran-aliran fundamentalis. Walaupun keluarga Assad dikenal memiliki hubungan baik dengan kelompok Syiah, Hisbullah di Libanon dan Iran, mereka selalu berhasil menahan Hisbullah untuk tidak masuk ke Suriah. Pakar Timur Tengah, Volker Perthes mengatakan, Hisbullah aktif dari Libanon, mereka tidak aktif secara politis di Suriah. Rejim Assad juga bekerjasama dengan Hamas.
Poros Syiah Akan Patah
Di masa lalu keluarga Assad selalu menunjukkan kepada rakyat, bahwa mereka yang anggota kelompok minoritas Alevi, mengurus warga minoritas dengan baik. Jadi Suriah memiliki sejarah toleransi keagamaan yang baik. Sebelum tahun 1970 pun, warga mayoritas Islam di Suriah terwakili di pemerintahan. Tetapi kabinet juga beranggotakan orang-orang beragama Kristen dan Alevi. Ini adalah salah satu dampak letak Suriah, yaitu antara Turki dan dunia Arab. Sehingga berbagai kebudayaan dan kelompok agama meninggalkan jejaknya di negara itu.
Jika perpecahan etnis terjadi setelah jatuhnya Assad, kaum minoritas tidak perlu merasa takut kepada pemerintah yang mayoritas anggotanya Sunni. Keluarga Assad sudah mengupayakan sedemikian rupa, sehingga di negara itu hampir tidak ada kekuatan fundamentalis. Dunia barat juga tidak perlu khawatir, karena jika kekuasaan berganti di Suriah, poros Syiah antara Suriah dan Libanon akan patah.
Diana Hodali / Marjory Linardy
Editor: Dyan Kostermans