Cinta Bersemi Saat Jerman Bersatu
3 Oktober 2020Saat itu, laki-laki yang kelak menjadi suami saya tengah sedang berkunjung ke Jerman Barat untuk pertama kalinya. Tahun 1989, setelah Tembok Berlin runtuh, dia teman-temannya menghabiskan malam tahun baru di kota Münster, tempat salah seorang kenalan mereka tinggal.
Ketika pertama bertemu di malam tahun baru, kami berbicara dengan bahasa yang sama. Tetapi negara asal kami, yakni Jerman Barat dan Jerman Timur, terasa asing, tapi itu tidak masalah.
Keluarga saya memang tidak punya sanak saudara di timur, jadi kami tidak melakukan hal-hal seperti menaruh lilin di jendela untuk mengenang “saudara kami di timur” seperti yang dilakukan sejumlah orang. Sedangkan keluarga suami saya dari timur juga tidak punya kerabat yang merindukan mereka di barat.
Visi Politik
Kalau menurut istilah masa kini, saya dan suami bisa disebut punya tingkat kompatibilitas yang tinggi: koleksi lagu kami nyaris sama. Tetapi di barat, saya mengumpulkan koleksi ini dengan cara yang lebih mudah dan murah.
Kami juga punya banyak kesamaan lain: selera dalam dekorasi, ketertarikan akan budaya, serta empati sosial. Dengan cepat kami juga sadar bahwa kami memiliki pandangan politik yang mirip, mulai dari kebijakan lingkungan hingga kebijakan yang progresif tentang keluarga.
Kami berdua memandang peristiwa runtuhnya Tembok Berlin sebagai kesempatan demokratis untuk kembali mendefinisikan negara kami: Jerman yang bersatu. Dengan penuh harapan, kami ikuti diskusi dengan pelbagai grup dari timur yang mendesain konstitusi baru. Suami saya sudah muak dengan SED, Partai Sosialis Bersatu yang memimpin Jerman Timur, dan saya endiri jenuh dengan pemerintahan konservatif Jerman Barat yang waktu itu dipimpin Helmut Kohl.
Awal dekade 90-an, ribuan orang pindah ke barat, terutama perempuan muda. Tapi bagi saya malah kebalikannya. Saya berhenti kerja dan meninggalkan rumah di Barat untuk pindah ke sebuah apartemen dengan dua kamar tidur di Timur. Langkah ini sebetulnya ilegal karena sebagai warga Jerman Barat, saya tidak boleh tinggal di Timur tanpa izin.
Pertanyaan seputar identitas Barat dan Timur
Media dengan cepat mengendus keberadaan hubungan kami yang tidak biasa. Seorang perempuan dari Jerman barat tinggal dengan seorang laki-laki di Jerman Timur. Akhirnya, pertanyaan yang sama muncul di tiap wawancara. Apa artinya menjadi seseorang dari Jerman Timur atau Barat?
Pertanyaan ini selalu membuat kami bingung, kami tidak tahu harus menjawab apa. Kami jatuh cinta karena persamaan kami, tetapi kami akhirnya merasa harus menemukan jawaban untuk memuaskan media. Jadi kami akhirnya menjawab pilihan kami akan tisu pembasuh. Suami saya mengatakan ia lebih memilih tisu dengan tekstur yang keras dari timur, sedangkan saya lebih suka tisu lembut dari barat. Mayoritas jurnalis puas dengan jawaban itu.
Tetapi di sekitar kami, dunia terus berubah. Tidak jauh dari tempat kami tinggal, partai neo-Nazi di Berlin Timur yakni Nationale Alternative mulai menguasai beberapa gedung apartemen. Saya terkejut dengan keberadaan rumah bercat coklat di Jalan Weitling, coklat adalah warna kediktatoran Nazi, Adolf Hitler.
Hanya beberapa meter dari sana, para mahasiswa dari Berlin Barat menduduki gedung di Jalan Mainzer. Jerman Barat dan Timur baru saja bersatu selama beberapa minggu, namun di bulan November 1990, kedua gedung tersebut berhasil dikosongkan oleh polisi dalam apa yang dikenal sebagai penggerebekan paling spektakuler setelah masa perang di Jerman.
Kami terbangun oleh suara mobil berlapis baja milik polisi. Tetangga kami, seorang perempuan tua berdiri di lorong dengan hanya mengenakan pakaian tidur, dan berkata “kita sedang perang.”
Peristiwa-peristiwa memalukan
Dulu, banyak truk dengan plat nomer Belanda melintasi daerah kami pada sore hari. Truk-truk itu mengangkut berbagai perabot kayu dan gagang pintu antik dari gedung-gedung tua. Barang-barang ini kemudian bisa ditemukan di pasar loak di Amsterdam atau Belgia dan dijual mahal. Rasanya, seolah-olah semua orang melihat Jerman Timur sebagai sesuatu yang bisa dijarah, dan itu membuat orang-orang Jerman Timur kehabisan kata-kata.
Pada musim panas tahun 1990, suami mengajak saya berjalan-jalan ke danau favoritnya. Pagi itu, kami mengendarai sebuah mobil kecil dengan plat nomor dari sebuah kota kecil di Jerman Barat. Siang harinya, ketika mau pulang, ada mobil BMW dengan plat nomor dari München memblokir jalan kami.
Setelah menunggu, beberapa jam kemudian muncul sepasang muda mudi. Ketika kami mengeluhkan kelakuan mereka yang menutupi jalan mobil kami, si laki-laki membentak. Menurutnya, danau itu sudah cukup lama dimiliki Jerman Timur, mereka ingin mengambilnya kembali. Mendengar itu saya rasanya hampir menangis.
Orang tua suami saya juga mengalami hal-hal tak terduga. Orang-orang muncul begitu saja tanpa diundang ke rumah musim panas mereka dan mengukur properti itu. Ada juga tuduhan tanpa bukti dari universitas tentang hubungan mereka dengan Stasi. Ini dilakukan dengan dugaan untuk mengakhiri karir mereka di bidang keilmuan dan memberikan posisi itu bagi personil yang tidak kompeten dari Barat. Bahkan beberapa kenalan mereka yang merupakan pendukung paling setia Jerman Timur tiba-tiba berubah menjadi pendukung reunifikasi.
Prasangka di mana-mana
Di tempat yang saat itu masih merupakan bagian Berlin Barat, saya bisa dengan cepat menemukan pekerjaan. Kabar bahwa saya beralamat di Berlin Timur dengan cepat tersebar luas. Ada juga kabar bahwa saya harus melewati pos pemeriksaan tiap pagi dan sore.
Suatu hari, seorang kolega memberikan pujian dengan nada yang meledek, ia mengatakan “Anda menulis cerita yang cukup bagus, untuk seseorang yang berasal dari Jerman Timur.”
Ketika saya bertanya mengapa ia mengira daya berasal dari Timur, ia mengatakan dengan yakin “bila langsung dikenali dari celana jeans dan kemeja denim Anda.”
Pasangan saya yang berasal dari Jerman Timur juga dengan cepat mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan Jerman Barat. Namun sebelumnya ia harus menjadi warga negara Republik Federal Jerman.
Suatu pagi dia meninggalkan apartemen kami di Berlin Timur sebagai warga negara Jerman Timur dan menghabiskan hari itu di pusat transit Marienfelde. Malam harinya, dia kembali sebagai warga negara Jerman Barat. Suatu kali, di sebuah acara yang diselenggarakan oleh perusahaan tempat kami bekerja, kami diberi tahu betapa terkejutnya mereka bahwa, di antara kami berdua, bukan saya yang berasal dari Timur.
“Kami tidak akan pernah mengira. Suamimu secara teknis sangat ahli. Dia bisa menggunakan telepon genggam tanpa masalah.”
Perbedaan keluarga Jerman Timur dan Barat
Seperti keluarga lain dari berbagai bagian di negara ini, keluarga saya dan suami, baik di Jerman Timur maupun Jerman Barat, memiliki hubungan yang biasa saja. Beberapa dari mereka tinggal berjauhan sehingga tidak dapat saling berkunjung. Sedangkan yang lainnya punya sangat sedikit kesamaan sehingga tidak tertarik untuk saling mengunjungi. Namun ini terjadi bukan karena persoalan Timur dan Barat, setidaknya di keluarga kami.
Namun pernah juga saya merasakan perbedaan yang besar, yaitu ketika saya hamil untuk pertama kalinya. Ibu mertua saya membeli banyak barang untuk bayi saya, di mana pun ada penawaran spesial di toko. Rasanya rumah kami penuh dengan barang-barang yang ia beli. Musabab dari tindakan ibu mertua adalah keadaan ekonomi yang kurang baik dan kelangkaan barang di Jerman Timur. Jadi, jika menemukan sebuah barang, otomatis Anda segera beli. Orang lain akan dapat menggunakan barang tersebut nantinya.
Ibu saya, sebaliknya. Ia tidak berbicara dengan saya selama berminggu-minggu. Berdasarkan pengalamannya, begitu seorang anak lahir, karir perempuan langsung berakhir. Bagaimanapun juga, ibu-ibu di Jerman Barat tahu kapan kira-kira saatnya suami mereka dapat melarang mereka bekerja. Tapi keadaan ini tidak berlaku di Jerman Timur.
Mungkin karena latar belakang ini, anak-anak kami tumbuh menjadi tidak begitu sadar akan daerah asal orang-orang di sekitar mereka. Bahkan di usia belasan tahun, mereka masih sering bertanya kepada kami, orang tua atau nenek mana yang berasal dari Jerman Barat dan mana yang berasal dari Timur. Hingga hari ini, tidak ada gunanya menanyakan dari mana asal teman-teman mereka. Peru, Portugal ataupun Paderborn, mereka biasanya tidak tahu.
Akhir dari euforia politik
Saya bersama suami melewati hari tanggal 3 Oktober 1990 bersama mertua saya dan teman mereka. Suasananya muram, kami semua terdiam karena rasa malu yang kami rasakan di bulan-bulan sebelumnya terhadap rekan senegara kami masing-masing.
Semuanya kini hanya tentang konsumerisme, jabatan, dan "rampasan perang". Para mantan aktivis hak-hak sipil hampir tidak lagi punya peran.
Orang-orang yang meragukan proses reunifikasi dianggap merindukan Jerman Timur. Kenyataannya, pada hari itu tidak satu pun dari kami yang bersedih atas Jerman Timur, yang kami tangisi adalah berbagai peluang yang hilang. (ja/ae)