Penularan Lewat Jenazah: Tiada Kata Pisah buat Korban Corona
20 Maret 2020Kisah kehidupan panjang Alfredo Visioli ditutup dengan seremoni singkat di pemakaman Cremona, sebuah kota kecil di utara Italia. Pria berusia 83 tahun itu meninggal dunia akibat COVID-19.
“Mereka menguburnya begitu saja, tanpa upacara pemakaman, tanpa keluarga tercinta, hanya ada pendeta,” kata cucunya Marta Mafredi yang dilarang hadir. “Kalau semua wabah ni sudah berakhir, kami akan memberikannya upacara pemakaman yang sesungguhnya.”
Wabah COVID-19 ikut mengubah praktik pemakaman yang lazim di berbagai lingkup budaya dan agama. Hingga akhir hayat, mereka yang meninggal dunia karena virus Corona jarang ditemani keluarga terdekat, lebih-lebih mendapat pemakaman dengan kehadiran banyak orang.
Pasalnya jenazah orang yang mengidap COVID-19 masih mampu menularkan virus Corona kepada orang lain.
Iran tidak mandikan jenazah
Serupa di utara Italia, pemerintah Iran kini mempekerjakan orang untuk menggali kuburan, kata Manajer TPU Behesht-e Zahra di Teheran. “Kami bekerja siang dan malam,” katanya. “Saya belum pernah mengalami situasi sesedih ini. Tidak ada upacara pemakaman sama sekali.”
"Sebagian besar jenazah diangkut dengan truk dan dimakamkan tanpa proses dimandikan seperti yang diwajibkan dalam Islam", kata sang manajer.
Sebagian warga Iran menduga sikap pemerintah yang buru-buru memakamkan korban COVID-19 lebih berkaitan dengan upaya menutup-nutupi jumlah korban ketimbang meredakan eskalasi wabah.
“Pemerintah berbohong soal angka kematian,” kata seorang pegawai rumah sakit di Kashan, sekitar tiga jam bermobil dari Teheran. “Saya melihat lusinan jenazah dalam beberapa hari terakhir saja. Tapi mereka menyuruh kami tidak membahasnya.”
Presiden Hassan Rouhani sendiri membantah adanya upaya pemerintah menutup-nutupi dampak wabah Corona. Dia memastikan tindakan otoritas dilakukan secara “jujur dan langsung.”
Saat ini wabah COVID-19 sudah menelan lebih dari 10.000 korban jiwa di seluruh dunia.
Hotspot wabah di upacara pemakaman
Namun otoritas di seluruh dunia mulai menyadari ancaman munculnya kantung wabah baru pada upacara-upacara pemakaman.
Italia misalnya menggunakan kamera untuk menyiarkan proses pemakaman bagi anggota keluarga. Adapun di Korea Selatan, pemerintah meminta warga mengkremasi anggota keluarga yang meninggal dunia dan baru menggelar pemakaman usai wabah berlalu.
Upacara pemakaman di Korsel biasanya berlangsung selama tiga hari di rumah sakit. Kebanyakan kasus COVID-19 yang pertamakali dideteksi berasal dari sebuah gereja di Daegu City dan sebuah rumah sakit terdekat. Februari silam, sejumlah anggota gereja menghadiri upacara pemakaman di rumah sakit untuk saudara laki-laki pendiri gereja.
Sejak itu wabah Corona berkecamuk, angka kunjungan ke acara pemakaman berkurang sebanyak 90%, terlepas dari apakah yang bersangkutan terjangkit virus atau tidak, kata Choi Min ho, Sekretaris Jendral Asosiasi Pemakaman Korea.
“Budaya pemakaman sudah berubah secara signifikan,” imbuhnya. “Sedikit peziarah yang masih mau datang, kini mempercepat kunjungan dan meninggalkan rumah duka tanpa makan bersama dengan keluarga karena takut tertular”, ujar Choi.
Larangan berkumpul akibat wabah Corona menghalangi kita menjalani ritual untuk memupus rasa duka, kata Andy Langford, Direktur Cruse Beravement Care di Inggris yang menyediakan layanan dan konsultasi secara cuma-cuma buat anggota keluarga yang sedang berduka.
“Pemakaman memungkinkan anggota komunitas untuk berkumpul bersama, mengekspresikan emosi dan mengucap selamat tinggal secara formal,” kata dia.
“Kalau Anda merasa tidak lagi memiliki kuasa terhadap cara berduka, dan bagaimana Anda bisa menghabiskan momen-momen terakhir bersama keluarga tercinta, hal itu bisa membuat Anda merasa lebih buruk.”
Langkah logis dan pantas
Namun di tengah wabah Corona, campur tangan pemerintah terhadap momen paling intim dalam kehidupan berkeluarga dinilai banyak kalangan sebagai logis dan pantas, mengingat bahaya yang mengancam.
Di Wuhan, pemerintah Cina sejak dini sudah menyadari ancaman yang datang dari upacara pemakaman, dan memerintahkan agar semua korban COVID-19 dikumpulkan di satu rumah duka, dan dimakamkan tanpa keluarga yang menemani, lapor Reuters.
Spanyol pun mencatat kemunculan titik panas baru wabah Corona berkaitan dengan upacara pemakaman. Dalam sebuah upacara penguburan di kota Vitoria misalnya, sebanyak 60 peziarah yang dites, positif mengidap SARS-Cov-2 usai menghadiri pemakaman.
Perdana Menteri Pedro Sanchez mengatakan virus Corona adalah wabah “yang kejam” karena melumpuhkan kebutuhan dasar manusia untuk bersosialisasi.
Adapun di Irlandia, asosiasi pemakaman nasional meminta anggota keluarga dan handai taulan memberikan ucapan belasungkawa secara online, ketika pemerintah mulai membatasi jumlah pengunjung sebuah upacara pemakaman.
Sementara di Italia yang kini mencatat angka korban jiwa tertinggi akibat COVID-19, pegawai pemakaman mengaku kewalahan menghadapi gelombang kematian.
“Rasanya seperti berperang melawan musuh yang tidak kasatmata,” kata Roberta Caprini yang mengelola layanan pemakaman di Bergamo. “Kami bekerja tanpa henti sudah sejak dua pekan dan hanya tidur 3-4 jam pada malam hari, itu pun jika bisa. Semua orang di sini, termasuk kami juga, sudah kehilangan seseorang atau merawat orang sakit di rumah.”
Menurutnya larangan memakamkan anggota keluarga terasa seperti “penyiksaan” bagi sanak saudara. Mereka hanya melihat keluarganya dibawa ke rumah sakit tanpa bisa bersua kembali.
Terkadang, kata dia, perusahaannya sengaja melewati rumah keluarga ketika membawa jenazah ke pemakaman. Sehingga mereka “setidaknya bisa keluar rumah dan berdoa.”
rzn/as (Reuters)