Amnesty International: 2014 Tahun Mengerikan
26 Februari 2015Organisasi pembela hak asasi manusia Amnesty International dalam laporan tahunannya menegaskan rekor situasi terburuk sejak 7 dekade terakhir. Tahun 2014 menjadi titik nadir dalam penuntasan konflik bersenjata yang marak di 35 negara, yang memaksa lebih 50 juta rakyat sipil mengungsi dari kampung halamannya.
DW: Apakah laporan tahun ini memilik perbedaan tajam dengan laporan tahun sebelumnya?
Steve Crawshaw: Setiap tahun kami mendokumentasikan pelanggaran berat hak asasi manusia, tapi pada tahun 2014 ini kami mencatat sebagai tahun paling mengerikan. Terjadi konflik yang berkobar secara bersamaan, di Nigeria, Suriah, Jalur Gaza hingga Ukraina. Kami melihat aksi kekejaman yang dilakukan baik oleh aparat negara maupun milisi bersenjata. Hal ini sangat mencemaskan. pelanggaran hak asasi manusia bukannya turun melainkan makin naik.
DW: Milisi bersenjata seperti Boko Haram, Taliban atau "Islamic State" melakukan pelenggaran berat hak asasi manusia. Apakah kelompok bersenjata semacam ini menjadi ancaman yang makin gawat?
Steve Crawshaw: Kami sejak bertahun-tahun mencatat makin meningkatnya masalah berkaitan dengan kelompok bersenjata semacam itu. Tapi, dewasa ini terlihat pola penyebaran yang sangat mengkhawatirkan yang terjadi bukan hanya di satu kawasan. Paralel dengan itu, kami juga mencatat perilaku salah dari pemerintahan. Di saat kejahatan Boko Haram di Nigeria menjadi tema bahasan panas, di sisi lainnya kejahatan oleh militer Nigeria yang juga memenggal kepala orang, sama sekali tidak disinggung. Masalah terkait kelompok bersenjata yang sinting dan tidak kenal hukum di banyak kawasan, sekarang makin gawat dibanding masa sebelumnya.
DW: Kelompok semacam ini makin marak di negara-negara gagal atau tidak stabil. Apakah negara semacam ini juga semakin jadi masalah?
Steve Crawshaw: Masalahnya saat ini adalah, negara-negara gagal itu lepas kendali. Situasi di Irak, Suriah atau seluruh kawasan dengan memandang ke masa depan, sangat mengkhawatirkan. Jika dihadapkan pada masalah baru, masyarakat internasional seringkali beranggapan, masalahnya terlalu rumit untuk dipecahkan. Akan tetapi, dalam kenyataannya, masalah menjadi sangat rumit, jika kita terlambat meresponnya. Jika Dewan Keamanan PBB bereaksi secara bijak terhadap maraknya aksi kekerasan terhadap demonstrasi damai sebelum pecahnya perang di Suriah, mungkin situasinya saat ini akan berbeda.
DW: Apakah barat setelah pengalaman pahit dengan diktatur Arab menganggap masalahnya kini tidak terlalu parah?
Steve Crawshaw: Menurut saya, pemerintah kini lebih selektif melontarkan kritiknya. Ada sikap berhati-hati dari pemerintah negara barat mengritik Arab Saudi menimbang alasan politik geostrategisnya. Apa yang benar-benar dibutuhkan Arab Saudi adalah ditaatinya hak-hak dasar, karena itu pemerintah harus angkat suara. Dalam kasus Suriah, Cina dan Rusia memveto resolusi DK PBB. Atau dalam konflik Gaza, Amerika Serikat berulangkali memveto resolusi terhadap Israel. Karena itu, Amnesty International dalam laporan tahunannya mengajukan tuntutan utama, agar 5 anggota tetap Dewan Keamanan tidak menggunakan hak vetonya, jika menyangkut aksi kekerasan massal atau pelanggaran berat hak asasi manusia. Jika kejahatan mengerikan terjadi, mereka tidak bisa begitu saja mengalihkan perhatian. Tapi itulah yang sangat sering terjadi di Dewan Keamanan PBB di tahun-tahun silam.
DW: Apakah ada ramalan bagi laporan tahun 2015 ?
Steve Crawshaw: Dengan jelas masih terlihat ancaman bahwa situasinya akan makin memburuk. Kita melihat bahwa kelompok-kelompok bersenjata kini makin kuat. Kami juga melihat ancaman bagi kebebasan berekspresi dan hak asasi lainnya. Krisis pengungsi juga kelihatannya akan makin parah. Sering terjadi refleks untuk berpaling dari masalah, karena problemnya sangat besar. Tapi selalu terbukti, bahwa dengan begitu masalahnya tidak otomatis menghilang.
Steve Crawshaw Direktur kantor Sekretaris Jenderal Amnesty International di London.