"Aku Tinggalkan tubuhku di sana"
19 Oktober 2018Irama air hujan yang jatuh di atap terpal putih kami adalah satu-satunya suara yang terdengar di kamp pengungsi ini. Tidak ada televisi, tidak ada musik, tidak ada suara anak-anak tertawa. Keheningan yang sangat kontras dengan suasana jalanan Cox's Bazar yang bising, yang kami lewati dalam perjalanan ke sini.
Kesunyian hanya sesekali dipecah oleh suara azan; yang kel luar dari pengeras suara abu-abu perak yang tergantung di pohon di atas bukit dan memenuhi lembah yang berlumpur.
Kamp nomor 7 terletak di bagian timur laut Kutupalong, salah satu pemukiman pengungsi terbesar dunia. Para pejabat memperkirakan, ada sampai 40.000 orang hidup di areal seluas 250 hektar ini. Tidak ada yang tahu jumlah sebenarnya. Warga Rohingya terdampar di kota pesisir ini di perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar, daerah yang dulunya merupakan hutan rimba. Beberapa laporan bahkan mengatakan, ada 1 juta orang yang tinggal di areal kamp ini, ada juga yang mengakatan 1,2 juta orang atau bahkan lebih.
Dari puncak bukit, kita bisa mengamati kamp ini. Deretan tenda dan rumah darurat membentang sejauh mata memandang. Terpal plastik berfungsi sebagai atap pada konstruksi yang terbuat dari bambu; hanya ada sedikit rumah yang memiliki atap seng.
Minoritas yang teraniaya
Warga muslim Rohingya telah melarikan diri dari Myanmar sejak tahun 1970-an. Namun tahun lalu, selama beberapa bulan saja ada lebih dari 700.000 orang yang melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kebrutalan dan kekerasan yang terjadi di kampung halaman mereka. Tidak ada yang tahu berapa banyak orang yang terbunuh saat itu, namun satu hal jelas: Ini adalah salah satu peristiwa genosida terburuk dalam sejarah modern Asia Selatan.
Fatima adalah salah satu yang selamat. Dia membersihkan gigi dengan jari-jarinya, membersihkan gusi yang meradang karena terlalu banyak mengunyah tembakau dan daun sirih. Kebiasaan itu bisa sedikit membantunya menghadapi masa-masa yang sangat traumatis, namun telah membuat giginya menjadi hitam.
Fatima berusia sekitar 20 tahun dan memiliki dua anak lelaki. Sebelum melarikan diri dari Myanmar, dia diperkosa 30 hingga 40 kali dalam semalam. Dia tidak ingat lagi tepatnya berapa kali atau berapa banyak lelaki yang memerkosanya.
"Aku meninggalkan tubuhku di sana," katanya dengan suara lembut, tatapannya tertuju ke tanah.
Kami duduk di atas karpet bergaris-garis pirus dan merah di ruang depan pondok Fatima. Suaminya, Ali, dua tahun lebih tua dari dia, duduk di sampingnya saat Fatima menceritakan kisahnya.
Tahun 2017 Ali terpaksa meninggalkan desanya, seperti banyak orang lainnya, untuk menghindari aksi pembunuhan membabi-buta oleh milisi yang datang. Dia meninggalkan istrinya dan putra mereka yang masih bayi.
Beberapa malam kemudian, milisi menyeret Fatima dan perempuan lain - banyak dari mereka bersembunyi di sebuah gubuk - ke hutan. Para milisi lalu memerkosa berulang kali. Tidak ada yang mendengar teriakan dan jeritan mereka. Suami dan saudara-saudara mereka sudah mati atau melarikan diri.
Entah bagaimana, Fatima berhasil kembali ke desanya. Dia mendapat perawatan sebelum mati karena pendarahan parah. Namun dia kemungkinan tidak bisa memiliki anak lagi.
Dengan mertuanya, Fatima melarikan diri menyeberang sungai ke perbatasan Bangladesh. Organisasi bantuan internasional lalu membantu dia menemukan suaminya.
Tapi banyak lelaki Rohingya yang meninggalkan pasangan mereka setelah jadi korban perkosaan. Untungnya Ali tidak demikian.
"Saya tidak punya masalah untuk tetap bersama dia," kata Ali. Fatima tidak memilih nasib seperti yang dia alami, tambahnya.
Fatima dan Ali tinggal di salah satu kamp ilegal Kutupalong, yang dibangun dengan cepat tahun lalu untuk menampung orang-orang yang terlantar yang mencapai jumlah ratusan ribu. Konstruksi tempat tinggal mereka memang dimaksudkan sebagai tempat tinggal darurat, bukan sebagai akomodasi jangka panjang.
Fatima dan Ali memperkirakan, mereka akan tetap tinggal di sana untuk waktu lama. Pemerintah Myanmar belum mengambil langkah-langkah untuk mengeluarkan dokumen resmi bagi warga Muslim Rohingya yang mengungsi atau mengijinkan mereka untuk pulang. Tanpa dokumen yang sah, para pengungsi secara resmi adalah orang tanpa kewarganegaraan, dan tergantung pada belas kasihan pemerintah Bangladesh.
Keamanan untuk perempuan
Di kamp-kamp penampungan pengungsi, para perempuan hampir tidak pernah meninggalkan pondok mereka - bahkan di bawah terik matahari musim panas, ketika suhu udara bisa mencapai 40 derajat Celcius.
Di bawah koordinasi organisasi internasional, ada 19 rumah khusus perempuan yang tersebar di seluruh kamp. Di rumah-rumah khusus ini, para perempuan memiliki akses ke sarana medis. Ada toilet yang layak dan tempat untuk memandikan anak-anak.
Pada awalnya, ada tempat dan pengertian besar dari warga Bangladesh bagi para pengungsi. Namun situasinya mulai berubah. Banyak warga Bangladesh merasa bahwa negara mereka telah melakukan lebih dari cukup untuk membantu para pengungsi.
Bangladesh sendiri adalah negara miskin yang sering dilanda bencana alam. Ada juga ketakutan yang meluas bahwa para pemuda Muslim bisa menjadi radikal. Orang-orang yang putus asa memang dianggap sangat rentan terhadap metode rekrutmen kelompok-kelompok radikal. Secara resmi, para pengungsi Rohingya tidak diizinkan meninggalkan kamp mereka, apalagi untuk bekerja. Hanya anak-anak yang difasilitasi menerima pendidikan sekolah dasar.
Fatima ingin kembali ke Myanmar. Mungkin dia merasa tidak punya kekuatan lagi untuk memulai kehidupan baru di sebuah negara yang asing.
Hujan terus berderap di atap terpal plastik putih; irama hujan telah menjadi irama penantian di tengah keterasingan.