Pemerintah akan Revisi UU ITE agar Kasus Baiq Tak Terulang
6 Agustus 2019Pemerintah menyatakan rencana merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan, revisi perlu dilakukan karena banyaknya orang yang mejadi korban akibat peraturan tersebut.
"Jadi saya dan nanti dengan Menkominfo akan duduk bersama untuk melihat, untuk merevisi undang-undang ITE. Tentunya pasti (direvisi)," ujar Yasonna dilansir dari Kompas.com.
Kepada DW Indonesia, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahju, menyambut baik rencana pemerintah. Namun ia mengingatkan pemerintah untuk memperhatikan beberapa hal dalam melakukan revisi UU ITE. Antara lain dengan menghapus pasal yang multitafsir dan berpotensi jadi alat kriminalisasi, sebagai contoh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (2). Menurutnya pasal-pasal yang multitafsir dapat dihilangkan dan menyerahkannya pada rumusan KUHP agar dapat diterapkan di ruang publik pada sistem elektronik.
“Proses revisi harus sejalan dengan ketentuan dalam RKUHP yang sedang dibahas agar tidak terjadi duplikasi pasal. Duplikasi tindak pidana akan mengakibatkan tumpang tindih yang bertentangan dengan kepastian hukum. Revisi UU ITE harus menjamin duplikasi tidak terjadi misalnya untuk tindak pidana penghinaan dan tindak pidana penyebaran berita bohong,” papar Anggara dalam pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.
Anggara menilai revisi UU ITE harus mencakup mengenai ketentuan soal mekanisme upaya paksa, seperti yang pernah dirumuskan dalam UU ITE tahun 2008 bahwa mekanisme upaya paksa harus degan izin dari pengadilan. Ia menjelaskan segala bentuk upaya paksa berdasarkan izin pengadilan telah diatur dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Indonesia sebagai salah satu negara peserta wajib melaksanakannya.
Selain itu, Anggara juga menyoroti kejelasan mekanisme blocking dan filtering konten yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, pemerintah memang harus memiliki kewenangan dalam melakukan blocking dan filtering content , namun dasar dan syaratnya harus diatur tegas dan jelas karena berhubungan dengan pembatasan hak asasi manusia. Ia berpendapat pengawasan konten dapat dilakukan oleh lembaga independen.
“Di samping itu juga diperlukan pembagian kewenangan yang jelas terkait siapa saja yang bisa memeriksa, mengeksekusi dan mengawasi tindakan blocking tersebut, tidak seperti saat ini di mana Menteri Komunikasi dan Informatika bertindak sebagai penyidik, penuntut, sekaligus hakim,” pungkas Anggara.
Buntut kasus Baiq Nuril
Rencana revisi ini merupakan buntut dari kasus Baiq Nuril, sehingga diharap ke depannya kejadian serupa tidak terulang lagi. Nantinya revisi ini akan menjadi revisi kali kedua bagi UU ITE. Menurut Yasonna, selain berkoordinasi dengan Kemkominfo, pihaknya akan memerintahkan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Benny Ryanto untuk mulai mengkaji revisi UU ITE.
Politisi partai PDIP ini menegaskan revisi nantinya tidak bertujuan untuk menghilangkan pasal-pasal karet, namun bertujuan untuk mencegah agar masyarakat tidak mudah lagi dikriminalisasi. Musababnya media sosial saat ini kerap digunakan untuk menjatuhkan orang lewat hoaks. Karena itu, solusi terbaik adalah menyempunakan pasal-pasal tersebut.
"Bukan berarti menghilangkan (sanksi pidana), karena kalau kita hilangkan itu juga persoalannya bisa gubrak juga nanti. Semua orang bisa bebas melakukan apa saja sesukanya di sosial media," tegas Yasonna.
Senada dengan Yasonna, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo juga mendorong agar UU ITE segera direvisi. Hal ini mengacu terhadap kasus jual beli data penduduk di media sosial beberapa waktu lalu. Menurutnya pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi data pribadi setiap warga Negara.
"Setiap warga negara harus dilindungi haknya khususnya menyangkut Nomor Induk Penduduk (NIK). Itu sudah termasuk dalam UU," ujar Tjahjo dikutip dari Gatra.
Namun, rencana pengajuan revisi UU ITE kemungkinan baru bisa diajukan ke DPR periode 2019-2024, yang baru akan dilantik pada Oktober mendatang.
rap/hp (Tempo, Kompas.com, Gatra)