Dalam kejuaran sepak bola seperti Piala Dunia (World Cup), yang diingat publik hanyalah sang juara, hampir tidak ada yang mengingat skuad peringkat kedua, kecuali publik dari negara mereka berasal. Metafora seperti ini kiranya pas untuk menggambarkan posisi wakil presiden (wapres) di negeri kita.
Selain Hatta, wapres berikutnya rasanya sudah tidak masuk lagi dalam memori publik. Megawati dan Habibie adalah kasus yang berbeda, mengingat keduanya adalah wapres yang kemudian bisa berlanjut sebagai presiden. Bahkan Habibie, pada fase tertentu, sudah mirip-mirip dengan Bung Karno dulu.
Bila Bung Karno adalah presiden yang memandu bangsa memasuki zaman baru, saat bebas dari kolonialisme, Habibie memasuki zaman baru, lepas dari otoritarian rezim Orde Baru yang seolah tak berkesudahan. Soal kemudian Habibie dilengserkan lewat manuver di parlemen, mungkin sudah kehendak sejarah. Seperti bunyi tamsil lama, penyesalan selalu datang belakangan, menyia-nyiakan Habibie, sama maknanya dengan membuang kesempatan emas.
Wibawa seimbang
Sejauh pengamatan saya, hanya ada dua wapres yang dari segi karisma bisa mengimbangi presidennya, yaitu Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkuwono IX (1973-1978). Soal bagaimana karakter Bung Hatta, tentu publik sudah paham, jadi tidak perlu diulang kembali. Satu hal yang ingin saya sampaikan sekali lagi adalah, soal pelajaran yang bisa kita petik dari pengunduran diri Bung Hatta selaku wapres.
Pelajaran itu masih aktual sampai sekarang, dan kelak akan menjadi klasik, khususnya dalam cara kita memahami mengapa masyarakat kita begitu menyanjung-nyanjung jabatan, dan para politisinya sudah kecanduan kekuasaan. Bung Hatta melepas jabatan wapres dengan hati ringan, ibaratnya keluar dari Istana dengan membawa kopor kecil. Bandingkan dengan menteri era kiwari, yang bila akan meninggalkan rumah dinasnya karena sudah tidak menjabat lagi, rasanya satu mobil boks belum lagi cukup untuk mengangkut barang pribadinya.
Secara intelektual dan sumbangsih dalam perjuangan, Bung Hatta hanya beda-beda tipis dengan Bung Karno. Jadi ketika Bung Hatta meninggalkan posisi wapres, tidak ada degradasi sedikit pun dalam hal karisma dan nama baik. Bung Hatta tetap produktif dalam menulis dan berceramah, artinya bobot Bung Hatta adalah karena kualitas pemikiran beliau, bukan jabatan politis yang bersifat fana.
Bila keseimbangan antara Hatta dan Bung Karno karena faktor intelektual, keseimbangan antara Soeharto dan Sri Sultan lebih karena faktor kultural, lebih spesifik lagi tradisi kekuasaan Jawa. Dekade pertama kekuasaan Soeharto, atmosfer kejawen masih terasa kental. Untuk itulah Soeharto mengajak Sri Sultan -- selaku penerus kekuasaan Mataram -- sebagai legitimasi bagi kekuasaanya.
Setelah sekian lama berlalu, kita baru bisa melihat makna di balik ajakan terhadap Sultan, rupanya Soeharto masih kurang percaya diri, meskipun kekuasaannya sudah didukung semua lembaga negara, terutama ABRI. Kemudian pada deade terakhir kekuasaannya, Soeharto semakin dekat dengan kelompok Islam, sebuah lompatan aneh dari Soeharto yang dikenal sangat kental tradisi kejawennya.
Dilihat dari lini masa, semuanya memang serba kebetulan. Sri Sultan wafat pada Oktober 1988, dan pada Desember 1988, berdiri ICMI di Malang, yang dianggap sebagai tonggak mulai dekatnya Soeharto dengan Islam. Bagi yang senang mengikuti sejarah militer, pengangkatan Sri Sultan juga bisa dibaca sebagai cara Soeharto untuk berbalas budi pada Sri Sultan, karena Sri Sultan senantiasa bungkam atas klaim Soeharto dalam peristiwa Serangan Umum (SO) 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Bagi rata antara Gus Dur dan Megawati
Sebagian pengagum Gus Dur menganggap bahwa Gus Dur tidak haus kekuasaan. Apakah benar begitu? Masyarakat kita acap kali terpapar amnesia sejarah. Gus Dur bisa menjadi presiden karena ada aliansi dadakan di antara partai terafiliasi Islam, yang menamakan diri sebagai "Poros Tengah”. Aliansi ini sengaja didesain untuk menyingkirkan Megawati sebagai kandidat presiden, bila berdasar perolehan suaran dalam Pemilu 1999, sejatinya Megawati yang paling berhak. Sementara perolehan partai Gus Dur (PKB) kurang memadai untuk meng-endorse Gus Dur, sehingga diperlukan sebuah poros atau koalisi dadakan.
Seandainya Gus Dur berjiwa besar, dia seharusnya menerima bila menjadi "sekadar” wapres. Dengan kesediaan Gus Dur sebagai wapres, setidaknya Gus Dur telah membantu mengangkat citra posisi wapres, yang selama Orde Baru hanya dianggap sebagai "pelengkap”, kecuali Hamengku Buwono IX, sebagaimana sudah dibahas di atas.
Keengganan Gus Dur dalam menerima jabatan wapres, telah memberi pelajaran kepada kita, betapa dilematisnya posisi wapres: tidak terlalu menarik namun di sisi lain masih seperti magnet kekuasaan. Kemudian saya teringat pengalaman saya sendiri, pada Oktober 2004. Mudah-mudahan pengalaman saya ini bisa menjelaskan mengapa masih saja ada politisi atau tokoh nasional yang berminat pada posisi wapres.
Lokasinya terjadi di Jalan Matraman Raya (Jakarta Timur), di pelataran sebuah toko buku terkenal di kawasan itu. Dari pelataran toko buku tersebut di sore hari, saya menyaksikan rombongan Paspampres dengan sirene meraung-raung, sedang mengawal Wapres (saat itu) Hamzah Haz untuk pulang ke rumah pribadinya, yang kebetulan terletak di sebuah jalan seberang toko buku itu.
Pengawalan Paspampres sore itu, saya kira adalah yang terakhir bagi Hamzah Haz, karena esok harinya adalah pelantikan pasangan presiden dan wapres yang baru. Dengan demikian setelah pelantikan, Hamzah kembali menjadi warga biasa, dan tidak lagi memperoleh pengawalan penuh seperti saat menjabat (wapres). Tidak banyak yang bisa saya ingat, apa saja capaian Hamzah Haz saat menjabat wapres, kecuali pengawalan (terakhir) saat pulang sore itu.
Benar, pengawalan atau tindakan protokoler lainnya, yang menjadikan tokoh nasional tetap berminat untuk menjadi wapres. Fenomena ini menunjukkan problem akut bangsa kita, yang semua orang ingin menjadi pejabat, terbukti saat pilkada baru-baru ini, sudah tak terhitung dana yang dikeluarkan kontestan pilkada untuk meraih impiannya menjadi pejabat. Bagi yang kalah, tentu saja kecewa, namun itu hanya sesaat, sama sekali tidak menyurutkan para pemburu jabatan untuk bertarung kembali dalam putaran berikutnya.
Puan dan AHY sebagai capres
Setelah tak lagi menjadi wapres, berita seputar Jusuf Kalla (JK) menjadi liar, utamanya melalui platform media sosial. JK dianggap masih punya ambisi berkuasa, sehingga disebut-sebut sebagai "dalang” di balik resistensi terhadap pemerintahan Jokowi periode kedua. Tentu saja semua itu sekadar gosip, mengingat semua berita terkait JK sulit dibuktikan.
Apa yang dialami JK hari-hari ini menambah daftar panjang soal betapa tidak menariknya posisi wapres. Bagaimana tidak, ketika sudah purnabakti pun, masih harus menerima getah kekuasaan. Belajar dari pengalaman JK ini, bukankah lebih baik bagi Puan Maharani atau Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk langsung maju saja sebagai capres pada 2024.
Menjadi wapres, dengan alasan magang, sama sekali tidak ada artinya bagi tokoh sekaliber Puan atau AHY. Bagi keduanya, menjadi wapres hanya buang-buang waktu. Bila alasannya adalah untuk kepentingan magang, bukankah pengalaman di masa lalu sudah lebih dari cukup, ketika orang tua mereka menjadi orang nomor satu di negeri ini.
Tentu saja kita berharap pada suatu masa, peran wapres benar-benar signifikan, bukan sekadar "pendamping”, seperti wapres di AS. Bila generasi Puan atau AHY kelak menjadi presiden, kiranya periode mereka bisa menjadi masa peralihan (interregnum) dalam memunculkan sosok wapres seperti Bung Hatta.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.