20 Tahun Pasca Serangan di Solingen
28 Mei 2013"Itu juga bisa terjadi pada saya," cerita Secil Cakici. "Karena takut kami bersembunyi di gudang, dan saya mengantar anak saya ke sekolah pada minggu-minggu pertama," demikian perasaan yang dilukiskan Maide Kulak pasca serangan pembakaran di Solingen 29 Mei 1993. "Orang tidak bisa hidup terus dalam ketakutan," ujar Secil Cakici yang sejak 46 tahun hidup di Jerman.
Para perempuan migran Turki yang tinggal di Solingen ini bertemu secara rutin untuk bertukar pikiran. Terkait proses pengadilan kasus NSU yang 10 tahun lalu melakukan pembunuhan bermotif kebencian orang asing, memicu kembali ingatan kejadian serangan pembakaran di Solingen.
Guru sekolah ketrampilan kerja Ayla Uzun dulu sudah aktif di politik komunal. Ia ikut mengalami ketakutan para migran langsung setelah insiden pembakaran rumah keluarga Genç, ketika lima anggota keluarga migran Turki itu tewas terbakar.
Kejadian itu adalah serangan terburuk terhadap warga asing di Jerman pasca Perang Dunia II. Karena takut terulang kejadian serupa, keluarga-keluarga Turki mengubah namanya pada pintu rumah. Anak-anaknya tidur dengan pakaian lengkap, agar dalam kondisi darurat bisa cepat meninggalkan rumah.
"Ketakutan Selalu Ada"
Selalu jika di suatu tempat ada kebakaran dan korbannya keluarga Turki, Ayla Uzun berharap itu bukan disebabkan serangan dan terjadi karena kerusakan teknis. Ia merasa kecewa besar, dimana pihak berwenang "yang juga dibayar dari uang pajak saya" 10 tahun lamanya tidak berhasil mengungkap pembunuhan bermotif rasial yang dilakukan NSU. "Bagaimana saya bisa merasa aman di negara ini?" tanya perempuan yang 23 tahun lalu mendirikan TK untuk tujuan sosial.
Ia sudah lama mengambil kewarganegaraan Jerman. Maide Kulak juga punya paspor Jerman. Ia datang ke Jerman kala berusia 12 tahun. Orang tuanya membayar guru privat selama lima tahun untuk belajar Bahasa Jerman. Namun ia sering merasa seperti warga Jerman Islam, kata asisten apoteker itu.
Juga Ayla Uzun mengalami sendiri, bagaimana orang-orang berdasarkan nama, penampilan, aksen atau karena agamanya didiskriminasi. "Saya sendiri tidak pakai kerudung, tapi saya tidak akan pernah mencap seperti yang sering dilakukan masyarakat Jerman. Kami juga menentang fanatisme," kata Ayla Uzun. "Itu kepribadian dan kemampuan yang saya miliki. Saya tentu tidak bisa mengubah nama agar bisa diterima di negara ini," keluhnya.
Jumlah Migran Bertambah
Tapi justru karena nama yang berbeda dari nama Jerman, putra Secil Cakici didiskriminasi. "Setelah lulus kuliah, anak saya melamar kerja, tapi tiap kali ia ditolak. Ketika kemudian ia mengirim lamaran dengan nama Jerman, ia langsung diundang untuk wawancara kerja."
130 bangsa tinggal di Solingen. "40 persen anak-anak yang lahir di Jerman berlatarbelakang migran," ujar Ayla Uzun. Jumlah migran bertambah dan Jerman membutuhkan orang-orang ini sebagai tenaga kerja. Sudah tiba waktunya memikirkan bagaimana mengubah kehidupan bersama semua orang di Jerman ke arah positif.